Kita tergolong negara berpendapatan menengah, itu pun baru-baru ini turun kelas dari menengah lapisan atas menjadi menengah lapisan bawah.
Karena banyak di antara kita yang sudah terbiasa berbuat baik, bisa saja itu terjadi seperti sesuatu yang tak sengaja, namun karena sudah mendarah daging, terjadi otomatis begitu saja.Â
Saya kenal baik seorang anak muda, berusia 28 tahun, yang apabila lagi berjalan kaki, ia melihat bungkus makanan atau botol air minum yang dibuang, ia otomatis memunguti dan membuangnya ke tong sampah terdekat.
Ada pula anak muda lain, yang secara otomatis memberikan senyuman kepada siapa pun yang ia temui. Kemudian ia sigap membantu bila melihat ada yang ia bisa bantu.
Kedua anak muda di atas bukan orang yang berkecukupan dari sisi keuangan. Tapi, berbuat baik seperti sudah jadi gaya kesehariannya.
Jadi, kalau kita mau berbuat baik, rasanya tidak usah kita beritahu orang lain. Umpamanya, jika ada yang bertanya mau ke mana, tidak perlu bilang saya mau berbuat baik. Lakukan saja. Sesederhana itu.
Sebetulnya, tak ada rumus tertentu dalam berbuat baik. Namun, untuk keperluan artikel ini, perkenankan saya menuliskan semacam rumus sederhana, seperti berikut ini:
Pertama, berbuat baik itu sebaiknya dimulai dari diri sendiri. Jangan bergantung pada orang lain, misalnya kalau orang lain pelit, kita jangan ikut-ikutan pelit.
Kedua, mulailah sekarang juga. Jangan ntar-ntar. Niat baik sebaiknya tidak ditunda. Apalagi, bila misalnya berbuat baik itu dengan mentransfer sejumlah uang, bisa dilakukan dengan gawai
Ketiga, mulalah dari hal kecil, apa yang kita bisa. Jangan merasa malu bila cuma bisa berbagi dengan uang receh sisa belanja di pasar.
Keempat, dalam mencari "sasaran", sebaiknya mulai dari yang terdekat. Misalnya, kita melihat tetangga sedang melakukan isolasi mandiri, sumbangkan makanan atau barang keperluan sehari-hari.