Di grup media sosial para perantau dari nagari (desa) kelahiran ibu saya (orang Minang marganya atau sukunya ikut suku ibu), ada juga pengumpulan dana seperti itu, tapi untuk membiayai pengobatan kerabat yang sakit.
Masih ada lagi bebarapa grup media sosial lainnya, yang punya inisiatif seperti itu, yang tidak perlu saya sebutkan satu persatu.
Nah, maksud saya, upaya yang bersifat spontan dan informal tidak berarti kurang efektif ketimbang berdonasi melalui lembaga resmi yang terorganisir.Â
Menurut saya, semua bagus-bagus saja, asal semua bantuan yang terkumpul bisa secepatnya dibagikan kepada warga yang membutuhkan.
Bagi saya pribadi, jelas tidak mungkin mengabaikan sanak famili dan kerabat meski tinggal berbeda kota. Apalagi terhadap tetangga yang hampir setiap hari bertemu.
Tapi, menyisihkan rezeki untuk sebagian disalurkan melalui lembaga amil zakat, juga perlu, mengingat lembaga itu biasanya punya program yang terencana dengan manajemen yang lebih baik.
Kembali ke suasana Idul Adha, mudah-mudahan semangat berkurban tidak terhenti hingga di sini, tapi dikonversikan menjadi aksi berbagi secara terus menerus yang dilakukan secara tulus.
Kenapa faktor konsistensi dianggap penting? Karena pandemi yang melanda negara kita bisa jadi masih membutuhkan waktu yang relatif lama, hingga betul-betul hilang.
Bahkan, ada pula pendapat bahwa kita harus mampu hidup bersama pandemi, dalam arti bisa beradaptasi dan menjadikan kepatuhan atas protokol kesehatan sebagai gaya hidup dalam keseharian kita.
Soal apakah pakai metode langsung atau tidak langsung, diserahkan pada pilihan masing-masing orang. Yang penting itu tadi, aksi berbagi itu dilakukan secara tulus dan konsisten.
Tak perlu pula kita berdebat soal apa yang kita bagi. Kata orang bijak, berilah kail bukan ikan. Dengan kail, pihak yang dibantu bisa mencari ikan.