Jadi, Bukalapak tidak semata sekadar jadi perantara di mana pelaku UMKM bisa berjualan di aplikasi yang disediakannya. Melalui sejumlah anak perusahaannya, Bukalapak terjun langsung membina dan mengembangkan UMKM.
Anak perusahaan Bukalapak tersebut antara lain adalah PT Buka Mitra Indonesia, PT Buka Usaha Indonesia, dan PT Buka Investasi Bersama.
Saat ini (sebelum masyarakat diperkenankan membeli sahamnya), saham perusahaan Bukalapak dimiliki oleh 55 pihak. Pemegang saham terbesar adalah PT Kreatif Media Karya sebesar 31,9 persen dari total saham dan API (Hong Kong) Investment Limited dengan 17,4 persen.
Tentu saja, dengan masuknya masyarakat menjadi pemilik sebesar 25 persen akan mendilusi (mengurangi) besarnya persentase kepemilikan saham oleh 55 pihak sebelumnya.
Jelas, bagi masyarakat banyak apalagi yang selama ini sudah familiar dengan Bukalapak, baik sebagai pembeli barang maupun sebagai penjual barang, punya kesempatan emas untuk sekaligus menjadi pemilik Bukalapak.
Anggap saja harganya Rp 850 per lembar saham. Dengan uang Rp 850.000 seseorang sudah bisa punya 1.000 lembar (10 lot, pembelian saham di BEI harus dalam satuan lot) saham Bukalapak.
Momen yang dipilih Bukalapak boleh dikatakan tepat untuk melantai di BEI. Memang, sekarang pandemi masih dalam tren peningkatan kasus pasien yang terpapar Covid-19 di negara kita.
Tapi, justru karena mayoritas warga berdiam diri di rumah, penambahan jumlah investor baru yang membeli saham di BEI meningkat tajam.
Investor baru itu kebanyakan adalah anak muda yang melek teknologi informasi yang dengan aplikasi bisa bertransaksi jual beli saham.
Lalu, apakah manajemen Bukalapak bisa dipercaya akan membawa Bukalapak menjadi usaha rintisan berkelas dunia? Tentu ini perlu waktu untuk pembuktiannya.
Yang jelas, dengan melantai di BEI, pengelolaan Bukalapak akan lebih transparan karena melakukan keterbukaan informasi sesuai regulasi yang berlaku di BEI.