Mungkin masih ada contoh lainnya. Tapi, sudah cukup untuk menggambarkan bahwa dalam beberapa situasi, "kemerdekaan" seseorang untuk memilih bank, tidak berjalan sebagaimana keinginan nasabah.
Jadi, siapa yang menikmati "kemerdekaan" itu? Jawabannya adalah pejabat di suatu instansi atau perusahaan yang punya kewenangan untuk memilih bank yang akan diajak bekerja sama.
Dengan demikian, semua karyawan dan rekanan dari instansi atau perusahaan tersebut akan digiring untuk menjadi nasabah bank yang telah dipilih si pejabat yang punya kewenangan.
Dan tahukah Anda, sebelum mereka yang punya kewenangan tersebut memutuskan memilih sebuah bank, ada lobi-lobi yang alot dengan petinggi bank.
Makanya, saat lobi-lobi, pihak bank tidak keberatan memberikan sesuatu kepada pihak instansi atau perusahaan sebagai sweetener.
Memang, saldo tabungan karyawan tersebut secara rata-rata boleh dikatakan kecil. Tapi, dikalikan sekian ribu orang, tentu secara total, saldonya cukup signifikan.
Belum lagi, bank juga memotong biaya administrasi dan menerima fee dari penggunaan kartu ATM atau internet banking. Kemudian, bila si karyawan tertarik mengajukan permohonan kredit, bank akan mendapat penghasilan bunga atas kredit tersebut.
Begitulah, adakalanya pengetahuan tentang kiat memilih bank, tidak relevan bagi yang tak punya "kemerdekaan". Akan beruntung bila bank yang wajib mereka gunakan, ternyata memang bank yang sesuai harapan mereka.
Kabar baiknya, boleh dikatakan pada semua bank papan atas, jenis produk yang ditawarkan antar bank relatif sama, demikian juga kemajuan teknologinya.
Namun, untuk memproses keluhan nasabah, masih terdapat perbedaan. Ada bank yang responsif, ada pula yang lamban dalam merespon.