Jumlah bank di Indonesia, meskipun sudah berkurang karena ada beberapa bank yang melakukan merger atau penggabungan, tapi masih relatif banyak.
Sesuai data dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK), pada posisi Juni 2021, terdapat 4 bank berstatus Badan Usaha Milik Negara (BUMN), 68 bank swasta nasional, 27 bank milik pemerintah daerah, dan 8 kantor cabang bank asing.
Pada jumlah di atas, telah menggabungkan bank yang beroperasi secara konvensional dan bank syariah.Â
Bank Syariah Indonesia (BSI) yang merupakan hasil merger 3 bank syariah milik bank-bank BUMN, pada daftar yang dibuat OJK, dimasukkan pada kelompok bank swasta nasional.
Di lain pihak, angka di atas belum termasuk bank-bank kecil yang hanya terdapat di level kecamatan, yang dikelompokkan sebagai Bank Perkreditan Rakyat (BPR).
Meskipun jumlah bank lumayan banyak, sebetulnya yang dominan, dalam arti punya kantor di mana-mana dan nasabahnya di atas 10 juta orang, diperkirakan hanya belasan bank saja.
Tapi, bagi masyarakat di kota besar, contohnya Jakarta, Surabaya, Bandung, Semarang, Medan, dan Makassar, boleh dikatakan semua bank yang terdaftar di OJK gampang ditemukan.
Dengan demikian, logikanya masyarakat kota besar punya semacam keistimewaan, bebas memilih bank mana yang akan digunakannya untuk mendapat fasilitas layanan perbankan.
Ada bank yang unggul dalam teknologi yang sangat memudahkan dan mempercepat pelayanan. Ada bank yang unggul karena memberikan suku bunga yang lebih tinggi dari bank lain untuk para penyimpan dana.
Ada pula bank yang unggul dalam melayani pemberian kredit kepada masyarakat. Tentu, untuk kredit, paling tidak ada dua hal yang menjadi pertimbangan utama, yakni kecepatan prosesnya dan suku bunga yang lebih rendah dari bank lain.
Sayangnya, bagi banyak warga kota, justru tidak terdapat "kemerdekaan" dalam memilih bank tempatnya membuka rekening tabungan.
Maksudnya, banyak nasabah bank yang mau tak mau harus membuka rekening di sebuah bank karena sudah dikondisikan seperti itu. Siapa saja yang tidak "merdeka" itu?
Pertama, para karyawan, baik yang berstatus pegawai negeri, karyawan BUMN, maupun karyawan perusahaan swasta. Mereka adalah orang-orang yang makan gaji setiap tanggal tertentu.
Boleh dikatakan tidak ada lagi karyawan yang menerima gaji berupa uang tunai dalam sebuah amplop coklat seperti 20 atau 30 tahun lalu. Jadi, semuanya harus membuka rekening bank yang akan menerima transfer masuk setiap tanggal gajian.
Meskipun seorang karyawan sudah punya rekening di Bank A, namun karena perusahaannya bekerja sama menyalurkan gaji karyawan dengan Bank X, maka karyawan tersebut terpaksa juga membuka rekening di Bank X.
Sebetulnya, dengan teknologi yang canggih, sistem transfer antar bank sudah bisa dilakukan dengan seketika. Bank X bisa saja mentransfer gaji seseorang ke Bank A dan Bank X mendapatkan fee beberapa ribu rupiah setiap kali mentransfer.
Tapi, begitulah yang jadi bagian dari perjanjian kerja sama antara bank dengan suatu instansi atau perusahaan, yakni mewajibkan seluruh karyawan membuka rekening.
Keuntungan bagi bank adalah pengendapan dana, karena ada saldo minimal yang harus disisakan setiap pemegang rekening, agar rekeningnya tidak ditutup.
Selain itu, bank akan memasarkan produk lainnya kepada para pemegang rekening tersebut, seperti penyaluran kredit kepemilikan kendaraan atau rumah, kartu kredit, internet banking, dan sebagainya.
Kedua, pelaku usaha yang menjadi bagian dari mata rantai bisnis yang lebih besar. Umpamanya, ada sejumlah perusahaan yang memasok barang ke sebuah perusahaan besar. Atau, produk perusahaan besar dijual di berbagai toko yang jadi penyalur.
Nah, karena pelaku usaha kecil posisinya lemah dibanding perusahaan besar, maka perusahaan besar yang sudah kerja sama dengan sebuah bank, mewajibkan semua rekanannya membuka rekening di bank tertentu.
Ketiga, penerima kedit, katakanlah kredit pemilikan rumah berjangka panjang melalui sebuah bank. Setelah pihak bank menyatakan si pemohon kredit layak menerima kredit, lazimnya juga disyaratkan untuk membuka rekening tabungan di bank tersebut.
Mungkin masih ada contoh lainnya. Tapi, sudah cukup untuk menggambarkan bahwa dalam beberapa situasi, "kemerdekaan" seseorang untuk memilih bank, tidak berjalan sebagaimana keinginan nasabah.
Jadi, siapa yang menikmati "kemerdekaan" itu? Jawabannya adalah pejabat di suatu instansi atau perusahaan yang punya kewenangan untuk memilih bank yang akan diajak bekerja sama.
Dengan demikian, semua karyawan dan rekanan dari instansi atau perusahaan tersebut akan digiring untuk menjadi nasabah bank yang telah dipilih si pejabat yang punya kewenangan.
Dan tahukah Anda, sebelum mereka yang punya kewenangan tersebut memutuskan memilih sebuah bank, ada lobi-lobi yang alot dengan petinggi bank.

Makanya, saat lobi-lobi, pihak bank tidak keberatan memberikan sesuatu kepada pihak instansi atau perusahaan sebagai sweetener.
Memang, saldo tabungan karyawan tersebut secara rata-rata boleh dikatakan kecil. Tapi, dikalikan sekian ribu orang, tentu secara total, saldonya cukup signifikan.
Belum lagi, bank juga memotong biaya administrasi dan menerima fee dari penggunaan kartu ATM atau internet banking. Kemudian, bila si karyawan tertarik mengajukan permohonan kredit, bank akan mendapat penghasilan bunga atas kredit tersebut.
Begitulah, adakalanya pengetahuan tentang kiat memilih bank, tidak relevan bagi yang tak punya "kemerdekaan". Akan beruntung bila bank yang wajib mereka gunakan, ternyata memang bank yang sesuai harapan mereka.
Kabar baiknya, boleh dikatakan pada semua bank papan atas, jenis produk yang ditawarkan antar bank relatif sama, demikian juga kemajuan teknologinya.
Namun, untuk memproses keluhan nasabah, masih terdapat perbedaan. Ada bank yang responsif, ada pula yang lamban dalam merespon.
Bagaimanapun juga, saat ini kebutuhan akan jasa bank bagi masyarakat banyak bisa disebut mutlak. Kita berharap agar semua bank meningkatkan mutu pelayanannya.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI