Mohon tunggu...
Irwan Rinaldi Sikumbang
Irwan Rinaldi Sikumbang Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

menulis untuk menikmati kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Sopir Taksi Sering Curhat ke Penumpang, Apa Maksudnya?

3 Juli 2021   05:15 Diperbarui: 3 Juli 2021   05:18 933
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Bapak penumpang pertama saya hari ini, setelah saya capek muter-muter lebih dari 4 jam," kata sopir taksi yang membawa saya dari rumah ke kantor pada pagi Kamis (1/7/2021).

Saya agak kaget dengan salam pembukaan seperti itu, karena si sopir mengucapkannya pas pantat saya belum begitu sempurna berlabuh di jok belakang taksi berwarna biru itu.

Apalagi, setelah itu ia langsung bercerita sendiri tentang kesulitan ekonomi yang dihadapinya dalam membiayai kebutuhan rumah tangga sehari-hari.

Sebetulnya, saya lumayan sering menjadi tempat curhat sopir taksi, tapi cerita tersebut tidak ujuk-ujuk, karena pasti didahului oleh kalimat basa-basi.

Rata-rata curhat tersebut berkisar tentang semakin susahnya mereka mencari penumpang karena terdesak oleh taksi yang dipesan melalui aplikasi.

Lalu, sejak terjadi pandemi Covid-19, penderitaan sopir taksi semakin bertambah-tambah, karena para pegawai banyak yang bekerja dari rumah.

Di lain pihak, pengeluaran harian para pengemudi itu tidak berkurang. Dapur di rumahnya harus selalu ngebul. Biaya listrik, air, pulsa ponsel, harus tetap ada.

Kalau diamati, yang sekarang masih setia menyusuri jalanan ibu kota, tinggal satu grup saja, grup taksi berwarna biru yang saya tumpangi. Grup lain yang dulu lumayan banyak, mungkin sudah gulung tikar.

Tentu, taksi online masih tetap beroperasi. Tapi, yang seperti ini tidak terdeteksi langsung karena menggunakan kendaraan pribadi yang "dikaryakan".

Nah, kembali ke cerita saya di pagi yang lalu itu, saya memang orangnya sensitif. Begitu si sopir curhat, padahal ia belum kenal dengan saya, saya sudah menduga-duga, apa kira-kira maksudnya?

Apakah itu sekadar curhat biasa, atau apakah itu semacam kode atau kiasan bahwa ia ingin diberikan tip dalam jumlah yang relatif besar?

Pertanyaan saya berikutnya, tentu saja di dalam hati, cara si sopir itu curhat ke penumpang, jika manajemen perusahaan yang mengelola taksi itu tahu, apakah diperkenankan secara etika, atau tidak?

Kenapa saya sebut secara etika, karena secara hukum, jelas si sopir tidak ada kesalahan apa-apa. Tinggal masalahnya etis atau tidak etis.

Saya sendiri, jujur saja, punya kebiasaan tidak meminta kembalian untuk jumlah yang relatif kecil. Umpamanya, tarif pada argo tercantum Rp 41.000. Maka, satu lembar uang kertas pecahan Rp 50.000 akan saya berikan tanpa perlu minta kembalian.

Memang, bisa jadi sopir taksi beranggapan para penumpangnya adalah orang kaya, yang memberi tip bukan sekadar uang receh seperti yang saya lakukan. Tapi, kaya itu kan relatif.

Seperti saya, sering bepergian naik taksi, bukan karena kaya, tapi untuk praktis saja. Lagi pula jarak rumah saya ke kantor hanya sekitar 5 km.

Jadi, sekadar membayar argo untuk jarak seperti itu pulang pergi, alhamdulilah saya masih mampu. Kalau saya naik kendaran umum, sangat tidak praktis, karena tiga kali naik kendaraan. 

Pilihan lain adalah naik ojek, tapi tentu kurang nyaman. Membawa mobil butut saya, di samping tidak gampang mencari tempat parkir, ongkos parkirnya juga relatif mahal.

Kalau saya naik taksi, salah satu kelebihannya, saya bisa sambil mengetik naskah buat ditayangkan di Kompasiana. Masalahnya,  bila ketemu sopir yang suka curhat, adakalanya mengganggu saya.

Tapi, pernah juga pembicaraan sopir malah jadi sumber inspirasi untuk menulis. Cerita sedih si sopir pada dasarnya menarik dan menyentuh sisi kemanusiaan saya.

Hanya, karena cukup sering mendengar kisah begitu, adakalanya kepekaan saya menurun. Mohon maaf, mungkin saya keliru atau su'udzon, sopir taksi ada yang berharap dapat tip besar karena mengumbar cerita sedihnya.

Namun, jika melihat gaya sebagian penumpang taksi yang cukup royal memberi tip, sebetulnya bagus-bagus saja. Hanya saja, sopir taksi akan berpotensi (sekali lagi, mudah-mudahan saya keliru) mengulang kembali cerita sedih itu ke penumpang lain.

Padahal, tidak semua penumpang bersikap royal. Saran saya, meskipun kondisi saat ini lagi berat, sebaiknya seseorang tidak langsung nyerocos kisah sedih kepada orang yang belum dikenalnya.

Kecuali, bila sudah ngomong-ngomong dulu soal lain, dan kemudian si penumpang tertarik dan memancing cerita si sopir tentang suka duka yang dihadapinya, nah, boleh-boleh saja bercerita lebih rinci.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun