"Bapak penumpang pertama saya hari ini, setelah saya capek muter-muter lebih dari 4 jam," kata sopir taksi yang membawa saya dari rumah ke kantor pada pagi Kamis (1/7/2021).
Saya agak kaget dengan salam pembukaan seperti itu, karena si sopir mengucapkannya pas pantat saya belum begitu sempurna berlabuh di jok belakang taksi berwarna biru itu.
Apalagi, setelah itu ia langsung bercerita sendiri tentang kesulitan ekonomi yang dihadapinya dalam membiayai kebutuhan rumah tangga sehari-hari.
Sebetulnya, saya lumayan sering menjadi tempat curhat sopir taksi, tapi cerita tersebut tidak ujuk-ujuk, karena pasti didahului oleh kalimat basa-basi.
Rata-rata curhat tersebut berkisar tentang semakin susahnya mereka mencari penumpang karena terdesak oleh taksi yang dipesan melalui aplikasi.
Lalu, sejak terjadi pandemi Covid-19, penderitaan sopir taksi semakin bertambah-tambah, karena para pegawai banyak yang bekerja dari rumah.
Di lain pihak, pengeluaran harian para pengemudi itu tidak berkurang. Dapur di rumahnya harus selalu ngebul. Biaya listrik, air, pulsa ponsel, harus tetap ada.
Kalau diamati, yang sekarang masih setia menyusuri jalanan ibu kota, tinggal satu grup saja, grup taksi berwarna biru yang saya tumpangi. Grup lain yang dulu lumayan banyak, mungkin sudah gulung tikar.
Tentu, taksi online masih tetap beroperasi. Tapi, yang seperti ini tidak terdeteksi langsung karena menggunakan kendaraan pribadi yang "dikaryakan".
Nah, kembali ke cerita saya di pagi yang lalu itu, saya memang orangnya sensitif. Begitu si sopir curhat, padahal ia belum kenal dengan saya, saya sudah menduga-duga, apa kira-kira maksudnya?
Apakah itu sekadar curhat biasa, atau apakah itu semacam kode atau kiasan bahwa ia ingin diberikan tip dalam jumlah yang relatif besar?