Mohon tunggu...
Irwan Rinaldi Sikumbang
Irwan Rinaldi Sikumbang Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

menulis untuk menikmati kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud Pilihan

Tan Malaka, Pahlawan Nasional dengan Sejumlah Tanda Tanya

2 Juli 2021   05:03 Diperbarui: 2 Juli 2021   05:48 1251
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
dok. tempo.co, dimuat jubi.co.id

Apakah  di kota Anda ada nama jalan yang mengambil nama tokoh di masa pergerakan nasional, Tan Malaka? Yang spontan saya ketahui, hanya ada di Padang dan Payakumbuh, keduanya di Sumatera Barat.

Itupun di Padang, Jalan Tan Malaka bukan di jalan protokol, hanya jalan kecil sepanjang sekitar 200 meter. Namun, di Payakumbuh, Jalan Tan Malaka merupakan jalan utama di Payakumbuh Utara, menuju Pandam Gadang, nagari (desa) kelahiran Tan Malaka.

Padahal, Tan Malaka dianugerahi gelar sebagai Pahlawan Nasional, melalui Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 53 yang ditandatangani oleh Presiden Soekarno pada 28 Maret 1963.

Dengan gelar tersebut, seharusnya sudah jelas, Tan Malaka diakui peranan besarnya dalam perjuangan merebut kemerdekaan Republik Indonesia.

Dalam usia 28 tahun, yakni pada tahun 1925, Tan Malaka telah mencetuskan konsep Republik Indonesia dalam bukunya yang berjudul 'Naar de Republiek Indonesia' atau 'Menuju Republik Indonesia'.

Meskipun tidak setenar Bung Karno dan Bung Hatta, namun pemikiran Tan Malaka menjadi rujukan bagi kedua tokoh besar yang kemudian menjadi proklamator kemerdekaan itu.

Namun, jika nama pahlawan nasional banyak disematkan pada nama jalan, nama bandara, nama universitas, dan berbagai nama tempat publik lainnya, kenapa nama Tan Malaka tidak laku. Terlupakan atau dilupakan?

Apakah pemerintah setengah hati mengakui jasa dan pengorbanan Tan Malaka bagi negara? Apalagi di akhir hidupnya, Tan Malaka meninggal secara tragis.

Tan Malaka bersama pengikutnya ditangkap pasukan TNI di Pethok, Kediri, Jawa Timur. Setelah ditangkap, Tan Malaka dan pengikutnya dieksekusi dengan cara ditembak (Kompas.com, 21/2/2021). Eksekusi mati tersebut terjadi pada 21 Februari 1949.

Sebelum itu, seperti ditulis minews.id (3/7/2020), tentang kudeta pertama dan terakhir di Indonesia pada tahun 1946, dipicu oleh ketidakpuasan Tan Malaka dan kawan-kawannya seperti Achmad Soebardjo dan Sukarni terhadap Perdana Menteri Sutan Sjahrir.

Jadi, kudeta yang dilakukan Tan Malaka bukan menjatuhkan kekuasaan Presiden Soekarno, melainkan untuk meruntuhkan kabinet yang dipimpin oleh Sjahrir. Tan Malaka dan kawan-kawan menilai Sjahrir terlalu lembek dalam menghadapi diplomasi Belanda.

Dengan pemberian gelar pahlawan nasional oleh Presiden Soekarno, tentu bisa dipandang bahwa Soekarno telah merehabilitasi nama baik Tan Malaka.

Harry A Poeze, seorang ahli sejarah berkebangsaan Belanda yang intens meneliti Tan Malaka, menguak banyak hal dalam tulisannya "Memuliakan, Mengutuk dan Mengangkat Kembali Pahlawan Nasional: Kasus Tan Malaka".

Tulisan yang dimuat dalam buku "Perspektif Baru Penulisan Sejarah Indonesia" (2013) tersebut menjelaskan bahwa Soekarno sebetulnya merehabilitasi pertama kali nama Tan Malaka dalam pidatonya saat menghadiri Kongres Partai Murba pada Desember 1960.

Pada kesempatan itulah Soekarno menegaskan bahwa beliau sudah membaca tulisan-tulisan Tan Malaka, juga sudah berbicara berjam-jam dengan Tan Malaka. Kesimpulan Soekarno, Tan Malaka adalah seorang pencinta tanah air dan bangsa Indonesia.

Bung Karno juga menyebutkan bahwa Tan Malaka adalah seorang sosialis yang sepenuh-penuhnya, sebagaimana dikutip Poeze dari buku "Bung Karno tentang Partai Murba" (1961).

Partai Musyawarah Rakyat Banyak (Murba) adalah partai terakhir Tan Malaka. Bersama kawan-kawan dan pengikutnya, Tan Malaka mendirikan partai ini pada 18 November 1948 (langgam.id, 28/3/2019).

Sayangnya, pernyataan  Bung Karno tersebut tidak mengakhiri keraguan sebagian kalangan masyarakat yang menilai Tan Malaka seorang komunis.

Bahkan, pada era orde baru,  nama Tan Malaka seperti menghilang dari buku-buku sejarah. Hal ini sangat berbeda dengan nama pahawan nasional lainnya. Seperti diketahui, Partai Komunis Indonesia (PKI), menjadi partai terlarang sejak orde lama tumbang.

Kenapa Tan Malaka dikaitkan dengan PKI? Karena pada zaman kolonial Belanda dulu, setelah Tan Malaka berhenti menjadi guru di kawasan perkebunan di Sumatera Utara, memutuskan pindah ke Jawa dan ikut dalam pergerakan politik, termasuk menjadi ketua PKI (republika.co.id, 19/11/2018).

Padahal, di kemudian hari, bagi PKI sendiri, Tan Malaka dianggap sebagai pengkhianat. Setelah Orde Baru tumbang, barulah diskusi tentang Tan Malaka kembali diadakan dan ditulis oleh media massa.

Seperti yang dilontarkan Fadli Zon (merdeka.com, 28/3/2017), melihat sosok Tan Malaka harus dilakukan secara utuh, tak boleh sepotong-sepotong. Sebab, Tan Malaka adalah manusia multi dimensi.

Pertanyaan apakah Tan Malaka adalah seorang komunis atau nasionalis, oleh Fadli Zon dengan tegas dikatakannya bahwa Tan Malaka adalah seorang nasionalis dan muslim.

Bahwa Tan Malaka seorang Islam mungkin tak perlu diragukan, mengingat sebagai orang Minang, nilai-nilai Islam sudah ditanamkan sejak kecil. 

Namun, ketika dewasa, sikap Tan Malaka yang pernah bergabung dengan PKI memang menjadi kontroversial. Di beberapa referensi disebutkan bahwa Tan Malaka tetap muslim, tapi berkategori "abangan".

Dengan berbagai kisahnya, termasuk pelariannya yang berpindah-pingah negara sewaktu diburu pemerintah kolonial Belanda, masih banyak tanda tanya terhadap kiprah Tan Malaka yang belum terjawab.

Yang jelas, warga Kabupaten Limapuluh Kota, Sumbar, daerah asal Tan Malaka, punya cara tersendiri menghargai putra daerahnya yang bernama lengkap Ibrahim Datuk Tan Malaka itu.

Sebetulnya, kehendak masyarakat Limapuluh Kota adalah memindahkan makam Tan Malaka dari Kediri ke Nagari Pandam Gadang, Kecamatan Gunung Mas, Kabupaten Limapuluh Kota.

Tapi, dengan berbagai pertimbangan, akhirnya yang dibawa dari Kediri adalah peti mati berisi bongkahan tanah makamnya (kompas.com, 10/11/2019).

Melalui serangkaian prosesi, termasuk disemayamkan di rumah gadang (rumah adat Minang) keluarga almarhum Tan Malaka, dibawa ke Gedung DPRD setempat serta diarak sesuai prosesi adat seorang raja, bongkahan tanah itu dimakamkan pada 13 April 2017.

Ahli waris Tan Malaka berharap semakin banyak kota-kota di berbagai penjuru tanah air yang mengambil nama Tan Malaka sebagai nama jalan.

Dengan demikian, kesan bahwa pemerintah setengah hati mengakui kepahlawanan Tan Malaka, akan sirna.

Namun demikian, para sejarawan, baik sejarawan Indonesia maupun asing, ditantang untuk meneliti lebih lanjut, mengungkapkan fakta sejarah seputar kehidupan Tan Malaka yang dinilai masih abu-abu.

Poeze sudah meneliti surat-surat yang pernah ditulis Tan Malaka, tapi perlu diteruskan dengan mencari bukti lain, agar sejumlah tanda tanya bisa terjawab.

.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun