Saya sendiri pernah larut menonton "aksi panggung" mereka di atas bus kota sekitar tahun 1993. Setelah komplotan tersebut turun di sebuah halte, mendadak tak ada lagi penumpang yang berdiri berdesak-desakkan di pintu belakang bus.
Lalu saya rogoh saku celana saya bagian belakang. Kok tipis? Ternyata dompet saya sudah berpindah tangan. Rupanya, mereka yang berdesakan itu, selain saya yang baru naik bus, anggota geng copet semua.Â
Kalau tidak salah, saya ketika itu naik bus PPD nomor 213 yang melayani rute Kampung Melayu-Grogol yang melewati Jalan Sudirman, tempat saya bekerja.
Saya masih ingat "drama" yang dimainkan mereka. Seorang cewek adu mulut dengan seorang cowok. Lalu yang lain ikut memanaskan situasi. Belakangan saya tahu, cewek tersebut masih bagian dari komplotan, karena setelah turun mereka terlihat kompak.
Sebetulnya, saya dari awal sudah ragu akan naik karena bus penuh, namun akhirnya tetap naik. Begitu dalam bus, perhatian saya langsung tesedot pada mereka yang adu mulut.
Setelah musibah itu, saya lebih berhati-hati. Dompet saya masukkan dalam tas di bagian dalam. Namun, pernah dua kali nyaris kecopetan lagi.Â
Suatu kali, tas saya pas turun bus terlihat bekas disilet. Untung saja tak ada barang yang hilang, kecuali payung lipat yang memang saya simpan di tas bagian depan, ikut kena silet.
Kalau main silet, dugaan saya yang menjadi pelaku bukan komplotan, tapi bermain sendiri. Tapi, pada dasarnya si pelaku juga "aktor" atau "pesulap".
Kejadian berikutnya saat saya ketemu komplotan lagi. Persis seperti bus 213 di atas, saya berdiri di bagian belakang dikelilingi mereka yang saya dari awal sudah curigai.
Ketika itu saya tidak membawa tas, tapi juga tidak membawa dompet. Di saku belakang celana panjang saya, kosong tanpa isi apa-apa. Tapi, di saku depan sebelah kanan, berisi uang receh.
Uang pecahan besar saya simpan di saku rahasia, yang dijahit khusus yang pasti sulit diambil pencopet karena tertutup ikat pinggang kulit yang lebar.