Mohon tunggu...
Irwan Rinaldi Sikumbang
Irwan Rinaldi Sikumbang Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

menulis untuk menikmati kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Bahasa Pilihan

Peribahasa Minang yang Relevan dengan Seni Berdemokrasi

11 Juni 2021   17:00 Diperbarui: 11 Juni 2021   17:17 1144
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Selain belajar di sekolah, dulu saya juga diajarkan peribahasa dalam bahasa Minang oleh ibu saya. Sebagian besar peribahasa Minang sama maksudnya dengan yang dalam bahasa Indonesia yang saya dapatkan di sekolah.

Bahkan, karena banyaknya pengarang asal Minang yang mewarnai kesusastraan Indonesia zaman dulu atau zaman Hindia Belanda (ketika Indonesia belum merdeka), saya menduga sebagian peribahasa dalam bahasa Indonesia itu berasal dari Minang yang dialihbahasakan.

Misalnya pepatah "sakali marangkuah dayuang, duo tigo pulau talampau" yang dalam bahasa Indonesia berbunyi "sekali merengkuh dayung, dua tiga pulau terlampau". Maksudnya, dengan sekali melakukan perbuatan, didapat manfaat yang banyak.

Saya juga sering mendengar peribahasa "di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung", yang dugaan saya berasal dari peribahasa yang sangat populer di ranah Minang, "di ma bumi dipijak, di situ langik dijunjuang".

Peribahasa itu jadi pegangan bagi perantau asal Minang agar cepat beradaptasi dan mematuhi norma, adat, atau kebiasaan yang berlaku di daerah perantauannya.

Berikutnya, tulisan saya kali ini lebih fokus pada peribahasa atau pepatah Minang yang relevan dengan pelaksanaan musyawarah dalam proses pengambilan keputusan di tengah masyarakat, yang menurut saya juga mengandung nilai-nilai demokrasi.

Saya dulu relatif sering menyaksikan bagaimana indahnya musyawarah antar ninik mamak di rumah gadang (rumah adat Minang), biasanya terjadi dalam acara adat. Kenapa saya sebut indah? Karena ada unsur seninya dalam bertutur kata, dan berirama mirip berpantun.

Tak ada perdebatan dengan nada bicara tinggi dalam perundingan tersebut. Tak ada yang emosinya meluap-luap, meskipun belum ada kata sepakat. Sangat berbeda dengan perdebatan di DPR atau di acara talkshow televisi yang narasumbernya adalah politisi.

Ada dua pihak yang berunding, masing-masing dipimpin oleh kepala suku yang bergelar datuk. Setiap mau melontarkan pendapat ke pihak lawan, kepala suku akan berembuk secara internal dengan anggotanya yang terbagi dalam beberapa kelompok kecil.

Perundingan intrnal dilakukan dengan suara yang agak berbisik, serta dilakukan secara estafet dari kelompok kecil yang satu ke kelompok kecil yang lain. Sampai akhirnya ada mufakat dari semua anggota internal, baru datuknya berbicara ke datuk pihak lawan.

Datuk pihak lawan pun berunding dulu secara internal dengan anggotanya, sebelum kemudian memberikan tanggapan secara resmi. Begitulah, akhirnya antara dua pihak yang berunding akan tercapai kesepakatan.

Memang, pengambilan keputusan tersebut membutuhkan waktu relatif lama. Tidak jarang, hidangan untuk semua hadirin sudah dingin, dan belum sempat disentuh. Hidangan tersebut digelar di atas tikar memanjang di depan masing-masing  anggota perundingan yang semua duduk bersila (seperti lesehan).

Namun, ada hal positif, karena terlihat kesetaraan antar pihak yang berunding. Hal ini didukung beberapa peribahasa Minang yang bisa ditafsirkan sebagai tindakan saling menghargai antar sesama dan memegang teguh prinsip musyawarah untuk mufakat, dengan cara yang baik.

Contoh peribahasa dimaksud, pertama, "duduak surang basampik-sampik, duduak basamo balapang-lapang". Terjemahannya: "duduk sendiri bersempit-sempit, duduk bersama berlapang-lapang".

Adapun artinya menegaskan bahwa dalam menyelesaikan persoalan yang berat, akan terasa ringan bila dilakukan bersama-sama. Makanya, bantuan dari orang lain sangat penting. Pendapat dari banyak orang lebih baik dari pemikiran satu orang.

Kedua, "nan buto paambuih lasuang, nan pakak palapeh badia, nan lumpuah paunyi rumah, nan kuaik pambaok baban, nan binguang disuruah-suruah, nan cadiak lawan barundiang".

Terjemahannya: " yang buta peniup lesung (alat tradisional untuk mengolah padi menjadi beras), yang tuli pelepas bedil (senjata api), yang lumpuh penunggu rumah, yang kuat penggotong beban, yang bingung bisa disuruh-suruh, yang cerdik jadi lawan berunding".

Artinya, semua orang ada fungsinya dan bisa berkontribusi dalam kegiatan suatu komunitas. Tapi, orang yang cerdik akan menjadi partner dalam berunding atau bermusyawarah.

Ketiga, "lamak dek awak katuju dek urang" yang terjemahannya "enak bagi kita harus pula yang disukai oleh orang lain". Jadi, tak boleh berbahagia di atas penderitaan orang lain.

Sebetulnya masih banyak lagi pepatah Minang yang berkaitan dengan proses pengambilan keputusan yang demokratis. Tapi, tiga contoh di atas sudah bisa menggambarkan bahwa ada seni berdemokrasi pada masyarakat Minang.

Ya, saya rasa tidak berlebihan disebut seni berdemokrasi, karena itu tadi, proses pengambilan keputusannya dilakukan dengan cara santun dan indah. Makanya, ada nilai seni yang diterapkan, yakni seni berunding.

Sayangnya, anak muda Minang sekarang justru sudah banyak yang tidak lagi tahu peribahasa atau pepatah petitih seperti yang diuraikan di atas.

Diharapkan, pengetahuan tentang peribahasa dan implementasinya dalam kehidupan sehari-hari, kembali digalakkan di sekolah-sekolah, tempat pengajian, atau pada organisasi masyarakat.

Kalau demokrasi dipahami sebagai cara yang indah, bukan siapa yang kuat membayar atau yang nyaring suaranya akan menang, mudah-mudahan jalannya pembangunan di negara kita akan lebih baik lagi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun