Memang, pengambilan keputusan tersebut membutuhkan waktu relatif lama. Tidak jarang, hidangan untuk semua hadirin sudah dingin, dan belum sempat disentuh. Hidangan tersebut digelar di atas tikar memanjang di depan masing-masing  anggota perundingan yang semua duduk bersila (seperti lesehan).
Namun, ada hal positif, karena terlihat kesetaraan antar pihak yang berunding. Hal ini didukung beberapa peribahasa Minang yang bisa ditafsirkan sebagai tindakan saling menghargai antar sesama dan memegang teguh prinsip musyawarah untuk mufakat, dengan cara yang baik.
Contoh peribahasa dimaksud, pertama, "duduak surang basampik-sampik, duduak basamo balapang-lapang". Terjemahannya: "duduk sendiri bersempit-sempit, duduk bersama berlapang-lapang".
Adapun artinya menegaskan bahwa dalam menyelesaikan persoalan yang berat, akan terasa ringan bila dilakukan bersama-sama. Makanya, bantuan dari orang lain sangat penting. Pendapat dari banyak orang lebih baik dari pemikiran satu orang.
Kedua, "nan buto paambuih lasuang, nan pakak palapeh badia, nan lumpuah paunyi rumah, nan kuaik pambaok baban, nan binguang disuruah-suruah, nan cadiak lawan barundiang".
Terjemahannya: " yang buta peniup lesung (alat tradisional untuk mengolah padi menjadi beras), yang tuli pelepas bedil (senjata api), yang lumpuh penunggu rumah, yang kuat penggotong beban, yang bingung bisa disuruh-suruh, yang cerdik jadi lawan berunding".
Artinya, semua orang ada fungsinya dan bisa berkontribusi dalam kegiatan suatu komunitas. Tapi, orang yang cerdik akan menjadi partner dalam berunding atau bermusyawarah.
Ketiga, "lamak dek awak katuju dek urang" yang terjemahannya "enak bagi kita harus pula yang disukai oleh orang lain". Jadi, tak boleh berbahagia di atas penderitaan orang lain.
Sebetulnya masih banyak lagi pepatah Minang yang berkaitan dengan proses pengambilan keputusan yang demokratis. Tapi, tiga contoh di atas sudah bisa menggambarkan bahwa ada seni berdemokrasi pada masyarakat Minang.
Ya, saya rasa tidak berlebihan disebut seni berdemokrasi, karena itu tadi, proses pengambilan keputusannya dilakukan dengan cara santun dan indah. Makanya, ada nilai seni yang diterapkan, yakni seni berunding.
Sayangnya, anak muda Minang sekarang justru sudah banyak yang tidak lagi tahu peribahasa atau pepatah petitih seperti yang diuraikan di atas.