Keempat, transaksi daring via digital banking, yang penjelasan singkatnya telah disinggung sebelumnya. Dari data BI, pada April 2021, total transaksi menggunakan digital banking tercatat sebesar Rp 3.114,1 triliun, atau naik 46,36 persen dibanding data satu tahun sebelumnya.
Kelima, menggunakan sistem kliring biasa yang diselenggarakan BI, yang disebut dengan SKNBI (Sistem Kliring Nasional Bank Indonesia). Pada April 2021, transaksi SKNBI tercatat sebesar Rp 413,04 triliun, naik 23,26 persen dibanding April 2020.
Keenam, menggunakan sistem kliring elektronik untuk nominal besar (Rp 100 juta ke atas) yang juga diselenggarakan BI. Sistem ini disebut RTGS (Real Time Gross Settlement).Â
Pada April 2021, tercatat total transaksi yang menggunakan RTGS sebesar Rp 15.568,42 triliun. Hal ini mengalami kenaikan sebesar 39,60 persen dibandingkan April 2020.
Perlu diketahui, pada sistem kliring, baik dengan metode SKNBI maupun RTGS, dilakukan melalui pertukaran warkat antar bank, seperti menggunakan cek dan bilyet giro.
Jadi, pengguna sistem kliring, rata-rata berupa institusi, bukan nasabah individu. Transaksi antar perusahaan kelas menengah ke atas atau antar instansi, lazimnya menggunakan sistem kliring.
Nah, dari data di atas, terlihat secara nominal RTGS yang paling dominan. Ini tidak mengherankan, karena itu tadi, dilakukan oleh institusi. Sekali transaksi saja bisa miliaran rupiah, bahkan lebih.
Kepesatan tersebut, seperti yang telah disinggung sebelumnya, berkemungkinan besar sebagai salah satu dampak positif dari pemberlakuan pembatasan sosial.
Bagaimana dengan sistem pembayaran konvensional yang memakai uang tunai? Sistem ini bagaiamanpun tetap diperlukan, karena inilah yang paling praktis untuk transaksi yang melibatkan pelaku usaha skala mikro.Â
Meskipun bagi sebagian orang, biasa saja punya beberapa rekening bank dan beberapa kartu debit atau kredit, kenyataannya masih cukup banyak warga yang belum punya rekening bank. Makanya, uang tunai menjadi alat transaksi utama bagi kelompok masyarakat kelas bawah ini.