Mohon tunggu...
Irwan Rinaldi Sikumbang
Irwan Rinaldi Sikumbang Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

menulis untuk menikmati kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Love Artikel Utama

Gaya Operasi Senyap dalam Perjodohan, Acuh tapi Butuh

22 Mei 2021   16:30 Diperbarui: 24 Mei 2021   12:35 1328
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi pasangan (Envato Elements)

Setahu saya, hingga zaman canggih sekarang ini, perjodohan dalam rangka menemukan pasangan hidup, masih banyak dilakukan. Hanya saja, sering perjodohan tersebut dilakukan dengan model "operasi senyap", sehingga hanya segelintir orang yang tahu.

Kenapa disebut operasi senyap? Karena pada dasarnya anak sekarang alergi dengan istilah perjodohan. Dengan tingkat pendidikan yang lebih baik dari generasi terdahulu, anak sekarang merasa sudah bukan zamannya lagi mencari istri atau suami melalui perjodohan.

Padahal, justru semakin tinggi pendidikan seseorang, adakalanya membuat semakin sulit menemukan jodoh. Seorang teman saya punya anak gadis seorang dokter yang telah berusia 32 tahun.

Sudah beberapa kali teman saya itu berjuang menjodohkan anaknya dengan anak kerabat atau anak sahabatnya. Tapi, apa boleh buat, memang dasar belum jodoh, usahanya itu masih belum membuahkan hasil. 

Entah sudah berapa kali foto anak gadisnya itu dikirimkan ke kerabat atau temannya, dan sekian kali pula ia menerima foto lelaki yang juga dikira akan cocok untuk menjadi calon suami anaknya.

Tapi, jangan mengira perjodohan yang dirancang teman itu bergaya zaman Siti Nurbaya, di mana si anak patuh saja meskipun tidak suka dengan orang yang dijodohkan dengannya. Perjodohan di zaman sekarang hanya semacam pintu gerbang untuk berkenalan. 

Jadi, jika dari foto yang diterima, dua orang yang akan "diadu" itu tertarik untuk berkenalan, mereka akan diatur untuk bertemu dan ngobrol-ngobrol. Selanjutnya tergantung pada kesan dari pertemuan pertama itu.

Atau, bisa juga meminta dua orang yang dirancang untuk berkenalan itu, saling kontak melalui bertukar pesan pendek via telpon selular masing-masing.

Jika kedua-duanya merasa tidak nyambung, atau satu pihak merasa oke, namun pihak lain tidak oke, ya tidak ada lagi kontak atau pertemuan berikutnya. Sesederhana itu.

Itulah yang terjadi pada gadis yang dokter yang saya contohkan di atas. Ada yang baru saling melihat foto saja, terus langsung kurang sreg. Ada yang kandas setelah chatting awal di media sosial. Ada yang kandas setelah kopi darat pertama.

Kandas maksudnya setelah itu tidak ada kabar berita, sehingga patut ditafsirkan bahwa salah satu pihak atau kedua-duanya tidak cocok untuk melanjutkan ke jenjang pelaminan.

Tapi, perjuangan untuk mencari jodoh harus tetap berjalan, tak boleh putus asa. Dan itu bukan hal yang susah untuk mencari calon berikutnya, terlepas apakah akan jadian nantinya atau kembali kandas.

Apalagi, seperti telah ditulis di atas, sekarang begitu gampang saling kontak dengan kenalan baru melalui media sosial, sehingga sebetulnya tidak perlu dipermasalahkan, apakah perkenalan di media sosial itu terjadi dengan sendirinya atau diatur oleh "sponsor".

Sponsor tersebut tidak hanya orang tua, anggota keluarga atau sahabat seperti kisah dokter di atas, tapi juga aplikasi pencari jodoh yang gampang dimanfaatkan. Atau, seperti gaya lama, difasilitasi oleh biro jodoh.

Harian Kompas dulu cukup lama menyediakan ruang Kontak Jodoh dengan menjaga penuh kerahasiaan para anggotanya yang terdaftar. Demikian pula Biro Jodoh Yasco, dulu cukup terkenal di kalangan para pencari jodoh.

Dibanding sponsor biro jodoh atau pakai aplikasi online, sponsor keluarga lah yang paling senyap. Pada dasarnya, keluarga tidak akan mengumbar cerita ketika proses perjodohan sedang berlangsung.

Bahkan, pihak keluarga yang jadi sponsor adakalanya pura-pura tidak tahu, seolah-olah perkenalan itu berlangsung secara alami, makanya terkesan mirip sebuah operasi senyap. 

Ada juga perjodohan yang sudah berhasil dan keduanya sudah hidup sebagai suami istri sekian lama, sejarah pertemuan mereka sengaja tidak diceritakan kepada orang lain. Jika ada yang bertanya sejarah tersebut, pasangan itu atau pihak sponsornya menjawab secara tersamar saja.

Adalagi operasi yang lebih senyap, yakni jika lelaki dan wanita yang mau diadu tidak tahu kalau fotonya telah dikirimkan ke calon lawannya. Soalnya, kalau diberi tahu, khawatir mereka tidak akan setuju, atau malu untuk setuju, semacam acuh tapi butuh.

Begitulah kreativitas orang tua yang punya anak masih lajang, atau bisa juga diprakarsai om, tante, kakek, nenek, saudara, saudara sepupu, atau temannya.

Komunitas pengajian, reuni alumni sekolah, kelompok arisan, organisasi perantau asal daerah tertentu, menjadi forum yang mempertemukan dua belah pihak yang setuju melakukan operasi senyap.

Jodoh di tangan Tuhan, tapi harus diusahakan, tak bisa menunggu berpangku tangan saja. Maka, membicarakan perjodohan, sisi positifnya lebih banyak dari sisi negatifnya.

Jadi, bagi yang belum bertemu jodoh, tak perlu gengsi, tak perlu malu, tak perlu alergi dengan perjodohan.  Diam-diam saja, ikuti prosesnya dan nikmati saja.

Jika akhirnya berhasil mendapatkan orang yang dirasa sesuai untuk jadi belahan jiwa, alhamdulillah. Jika tidak berhasil, anggap saja menambah teman.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Love Selengkapnya
Lihat Love Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun