Atau, dikaitkan dengan jumlah hari puasanya, jumlah salat tarawihnya, dan sebagainya. Yang lain lagi, dikaitkan dengan usia. Anak yang lebih besar dapat uang lebih besar, tapi ada juga anak yang lebih besar dapat uang yang lebih kecil.
Namun, menurut saya pribadi, sesuai dengan yang dulu saya alami, model yang sebaiknya diterapkan adalah sama rata sama rasa. Itu juga yang sekarang saya lakukan pada semua keponakan saya.
Tapi, konsep sama rata sama rasa tersebut, tentu saja tetap harus mempertimbangkan kemampuan ekonomis si pemberi salam tempel.
Misalnya, om yang punya duit membagi ke setiap keponakannya masing-masing mendapat uang Rp 100.000, sehingga tidak ada kesan keponakan kesayangan atau keponakan yang kurang disayang.
Namun, om yang pedagang yang lagi kurang maju usahanya karena pandemi, boleh saja memberikan setiap anak Rp 10.000. Yang penting ketulusannya.
Bahkan yang lagi terpuruk, tidak usah sungkan mengatakan belum bisa memberikan salam tempel. Jangan karena itu, malu berkumpul di acara keluarga (dengan catatan tetap mematuhi protokol kesehatan selama masa pandemi).
Di atas telah saya singgung agar anak-anak jangan secara tak disadari dididik jadi mata duitan. Anak-anak pun harus tahu bahwa setiap orang tidak sama nasibnya. Jangan sampai famili yang kurang berpunya merasa kurang dihargai, sementara famili yang kaya begitu diagung-agungkan.Â
Perlu pula ada kejelasan tentang kriteria penerima salam tempel. Misalnya, di lingkungan keluarga besar saya, definisi anak-anak itu sangat longgar.Â
Mulai dari bayi, anak-anak yang masih sekolah, bahkan yang sudah kuliah, di keluarga saya masih dapat salam tempel. Sedangkan mereka yang sudah bekerja, terkena "kewajiban moral" untuk memberi salam tempel, yang besarnya tentu saja sesuai kemampuan masing-masing.
Tentu bagi yang masih bayi atau anak-anak yang belum mengerti kegunaan uang, salam tempelnya diwakilkan ke orangtuanya atau ke kakaknya yang tertua.