Mohon tunggu...
Irwan Rinaldi Sikumbang
Irwan Rinaldi Sikumbang Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

menulis untuk menikmati kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Kurma Artikel Utama FEATURED

Salam Tempel Lebaran, Sebaiknya Sama Rata Sama Rasa

12 Mei 2021   18:00 Diperbarui: 3 Mei 2022   06:45 2011
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Salam tempel (Sumber: shutterstock via kompas.com)

Kata orang, anak-anak lebih jujur dari orang dewasa. Kejujuran tersebut termasuk dalam menilai siapa om dan tantenya yang pemurah dan siapa yang pelit.

Apalagi dalam suasana lebaran, kejujuran anak-anak antara lain terlihat saat anggota keluarga yang sudah bekerja atau sudah berkeluarga memberikan salam tempel bagi anak-anak yang ada dalam lingkungan sebuah keluarga besar.

Kalau tidak percaya, coba saja diam-diam mendengar pembicaraan antar anak-anak setelah menerima salam tempel. Mereka akan kritis terhadap om yang bergaya parlente tapi tidak memberi salam tempel, atau memberi dalam jumlah yang kecil.

Budaya salam tempel sebetulnya baik-baik saja, mengajak anak-anak bergembira merayakan hari lebaran, sambil memupuk rasa persaudaraan dan kekeluargaan.

Namun, di sisi lain, ada dampak negatif yang perlu dihindarkan, jangan sampai mendidik anak-anak menjadi mata duitan. Lebih parah lagi bila orangtua memperalat anaknya, umpamanya dengan mengatakan, "salim sama om itu, ntar om bagi-bagi duit".

Waktu saya kecil dulu, orangtua saya mewanti-wanti anak-anaknya untuk tidak meminta salam tempel. Bahkan, saat diberi uang pun, saya dan juga kakak-adik akan malu-malu untuk menerima, meskipun akhirnya mengambil juga.

Pengalaman saya, antar adik-kakak biasanya hasil salam tempelnya sama. Tapi, dengan saudara sepupu, hasilnya bisa berbeda, dan kami beradik kakak biasanya kalah dengan sepupu.

Setelah saya pikir-pikir, kekalahan itu karena saya beradik kakak berjumlah 7 orang. Sementara sepupu-sepupu saya yang rumahnya berdekatan, ada yang anak tunggal dan ada yang 3 orang bersaudara.

Nah, adapun om-om saya punya metode salam tempel yang berbeda-beda. Ada yang membagi rata ke semua keponakannya, atau saya mengistilahkannya dengan "sama rata sama rasa".

Ada pula yang mengalokasikan uang per keluarga. Maka, keluarga yang anak tunggal praktis dapat uang besar, sedangkan keluarga dengan 7 anak seperti saya, uangnya dibagi 7.

Tak masalah bagi saya karena tak mungkin juga saya melakukan protes ke ayah saya kenapa sampai punya anak 7 orang. Tapi, misalkan antar saya beradik kakak berbeda-beda jumlahnya, bisa jadi menimbulkan kecemburuan antar saudara.

Salam tempel (Dok. shutterstock melalui kumparan.com)
Salam tempel (Dok. shutterstock melalui kumparan.com)
Dari cerita teman-teman saya, ada saja yang menerima salam tempel yang berbeda antar mereka beradik kakak. Perbedaan tersebut misalnya dikaitkan dengan ranking di sekolah. Yang rankingnya bagus, dapat salam tempel lebih tebal. 

Atau, dikaitkan dengan jumlah hari puasanya, jumlah salat tarawihnya, dan sebagainya. Yang lain lagi, dikaitkan dengan usia. Anak yang lebih besar dapat uang lebih besar, tapi ada juga anak yang lebih besar dapat uang yang lebih kecil.

Namun, menurut saya pribadi, sesuai dengan yang dulu saya alami, model yang sebaiknya diterapkan adalah sama rata sama rasa. Itu juga yang sekarang saya lakukan pada semua keponakan saya.

Tapi, konsep sama rata sama rasa tersebut, tentu saja tetap harus mempertimbangkan kemampuan ekonomis si pemberi salam tempel.

Misalnya, om yang punya duit membagi ke setiap keponakannya masing-masing mendapat uang Rp 100.000, sehingga tidak ada kesan keponakan kesayangan atau keponakan yang kurang disayang.

Namun, om yang pedagang yang lagi kurang maju usahanya karena pandemi, boleh saja memberikan setiap anak Rp 10.000. Yang penting ketulusannya.

Bahkan yang lagi terpuruk, tidak usah sungkan mengatakan belum bisa memberikan salam tempel. Jangan karena itu, malu berkumpul di acara keluarga (dengan catatan tetap mematuhi protokol kesehatan selama masa pandemi).

Di atas telah saya singgung agar anak-anak jangan secara tak disadari dididik jadi mata duitan. Anak-anak pun harus tahu bahwa setiap orang tidak sama nasibnya. Jangan sampai famili yang kurang berpunya merasa kurang dihargai, sementara famili yang kaya begitu diagung-agungkan. 

Perlu pula ada kejelasan tentang kriteria penerima salam tempel. Misalnya, di lingkungan keluarga besar saya, definisi anak-anak itu sangat longgar. 

Mulai dari bayi, anak-anak yang masih sekolah, bahkan yang sudah kuliah, di keluarga saya masih dapat salam tempel. Sedangkan mereka yang sudah bekerja, terkena "kewajiban moral" untuk memberi salam tempel, yang besarnya tentu saja sesuai kemampuan masing-masing.

Tentu bagi yang masih bayi atau anak-anak yang belum mengerti kegunaan uang, salam tempelnya diwakilkan ke orangtuanya atau ke kakaknya yang tertua.

Nah, yang dianggap masuk grey area adalah mereka yang sudah tidak bersekolah atau kuliah, tapi juga belum bekerja, alias masih dalam status mencari pekerjaan. Biasanya saat lebaran, mereka ngumpet saat ada tamu. 

Lagipula, kalau nongol, mereka takut ditanya sudah bekerja apa belum? Kalau kepergok dan diberi salam tempel, mereka bisa malu karena merasa tidak berhak.

Padahal, mau dapat salam tempel atau tidak, mereka yang lagi berburu pekerjaan tersebut perlu bersilaturahmi dengan familinya, siapa tahu dapat informasi berharga. Tak perlu malu mengakui masih belum mendapat pekerjaan. Yang penting ceritakan kalau sudah berusaha.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kurma Selengkapnya
Lihat Kurma Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun