Kalau sekadar bisa menjual baju, mungkin bagi seorang kerabat saya, sebut saja namanya Heni, bukan perkara sulit. Heni sejak 7 tahun terakhir ini membuka butik yang khusus menjual pakaian muslimah di suatu kawasan di Jakarta Selatan.
Saya tidak begitu paham soal mode pakaian muslimah yang lagi digemari. Tapi, dari hasil perbincangan saya dengan Heni, ia sengaja menjual jenis pakaian yang tidak terlalu terikat dengan trend.
Jadi, stok barang yang sudah lama dipajangnya, katakanlah sudah sekitar satu tahun, masih menarik minat pelanggannya. O ya, Heni sudah punya sejumlah pelanggan setia, yang berulang-ulang berbelanja di butiknya.
Namun, secara rata-rata, omzet penjualan di butik Heni boleh dikatakan biasa-biasa saja. Hanya sekitar 5 potong pakaian saja yang terjual dalam satu hari, dan sedikit meningkat pada momen mau lebaran seperti sekarang.
Dari segi harga, butik Heni tergolong kelas menengah, karena barangnya pun bermutu baik, bukan barang kodian. Jadi, dengan terjual 5 potong, saya duga sudah memberikan keuntungan untuk menutupi pengeluarannya sehari-hari.
Kata Heni, sebetulnya beberapa calon pembeli sudah kepincut dengan pakaian tertentu yang dijualnya. Tapi, Heni tidak mau asal barang terjual, ia akan beberkan kelebihan dan kekurangan pakaian yang diincar calon pembeli jika dipasangkan ke badannya.
Heni tidak ingin pembelinya nanti menyesal kalau tidak dijelaskan apa kekurangannya. Walaupun di mata pemebeli, Heni dianggap aneh, kok ada yang mau membeli, malah diperlemah semangatnya.
Selain itu, sepinya butik Heni juga karena lokasinya bukan di pasar atau bukan di pusat perbelanjaan. Heni hanya menyewa sepetak ruko di pinggir jalan dengan lalu lintas yang ramai pada jam-jam tertentu saja.
Tapi, dari yang saya simpulkan setelah beberapa kali berdiskusi dengan Heni, ia terlihat begitu bersyukur punya sebuah butik meskipun ukurannya relatif kecil.
Kepuasan Heni terlihat bila ia berhasil memberikan pengetahuannya seputar seluk beluk memilih pakaian yang tak bisa sama rata untuk semua orang. Ilmu tersebut didapat Heni secara otodidak dan juga berkat pergaulannya dengan ibu-ibu Dharma Wanita di kantor suaminya.Â
Memang, Heni sendiri selalu tampil dengan baik di butiknya, sehingga pelanggannya sering tertarik dengan pakaian yang lagi dikenakannya.
Heni dengan sengaja memilih menjadi semacam "konsultan" bagi calon pembeli di butiknya, sehingga dari situlah muncul pelanggan setianya. Jadi, saran Heni adalah saran yang dilihat dari sisi kepentingan pelanggan.
Seperti telah disinggung di atas, jika pelanggan memaksa membeli sebuah pakaian, sedangkan menurut Heni kurang cocok, ia akan bilang meskipun setelah itu pelanggan tidak jadi membeli.
O ya, Heni tidak mau melayani pembeli laki-laki yang datang sendiri atau datang sesama laki-laki. Meskipun lelaki itu berdalih ingin membelikan pakaian untuk istrinya.
Jadi, kalau seorang lelaki ingin masuk butik Heni, harus bersama pasangannya atau dengan saudara perempuannya. Selain demi keamanan agar ia terbebas dari pelanggan yang usil, prinsip Heni tidak sekadar barang terjual, tapi ingin melihat langsung calon pemakai bajunya.
Ada semacam hubungan emosional, atau paling tidak semacam hubungan kekeluargaan yang dibangun Heni dengan pelanggannya. Ia sangat percaya pada pelanggannya, dan tidak ragu mengutangi pelanggannya.
Padahal Heni juga bukan orang berpunya karena suaminya hanya pegawai biasa, belum punya jabatan. Tapi, dengan kepercayaan yang diberikannya, tidak ada pelanggannya yang sengaja tidak melunasi utang. Kalau yang terlambat membayar, memang ada.
Kesimpulan saya, Heni merupakan contoh pelaku usaha kecil yang tidak saja menjalankan bisnis dengan sepenuh hati, tapi juga dengan menerapkan etika bisnis yang baik. Maka, yang dicari Heni bukan harta yang banyak, tapi harta yang membawa keberkahan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H