Mohon tunggu...
Irwan Rinaldi Sikumbang
Irwan Rinaldi Sikumbang Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

menulis untuk menikmati kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Kurma Artikel Utama

4 Ruang Diskusi di Ranah Minang, Dari Surau hingga Dangau

4 Mei 2021   17:29 Diperbarui: 5 Mei 2021   04:02 3465
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Konon, orang Minang terkenal sebagai jago dalam bersilat lidah. Tapi, itu cerita dulu, ketika awal kemerdekaan RI, di mana banyak sekali tokoh asal Minang yang menjadi tokoh pergerakan kemerdekaan, anggota tim perunding dengan pihak Belanda, dan menjadi diplomat.

Buktinya, ketika itu yang menjadi menteri luar negeri RI, dua kali dipercayakan kepada dua tokoh besar asal Minang, yakni Sutan Sjahrir dan Agus Salim.

Tak heran bila Menteri Luar Negeri Retno Marsudi mengatakan bahwa orang Minang memiliki DNA diplomat, berdasarkan rekam jejak yang ada di kementerian yang dipimpinnya (republika.co.id, 2/2/2019).

Keahlian berbicara, berdiskusi, dan bernegosiasi menjadi salah satu modal bagi mereka yang bertugas sebagai diplomat. Tapi, keahlian tersebut juga diperlukan bagi berbagai profesi lain yang membutuhkan kemampuan berbicara.

Kemampuan seperti itulah yang banyak dipunyai orang Minang dulunya. Makanya orang Minang banyak yang jadi pedagang, guru, ulama, wartawan, politisi, selain sebagai diplomat.

Namun demikian, harus diakui, begitu memasuki Orde Baru, di pertengahan dekade 1960-an hingga saat ini, dominasi orang Minang sebagai produsen tokoh nasional sudah jauh berkurang.

Banyak pengamat yang mengaitkan kemunduran peranan orang Minang di pentas nasional bermula pada peristiwa PRRI (Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia), pada akhir dekade 1950-an.

Ketika itu, PRRI bermaksud memberontak dari pemerintahan Soekarno, sehingga terjadilah perang saudara. Penumpasan PRRI tersebut meninggalkan trauma bagi banyak anak muda di Sumbar yang melarikan diri ke hutan belantara.

Setelah itu kebanggaan sebagai orang Minang mulai menyurut. Anak laki-laki yang lahir di awal 1960-an banyak diberi nama berbau Jawa oleh orang tuanya, seperti nama Sudirman, Yanto, Supardi, dan sebagainya, konon agar nanti lebih gampang mendapatkan pekerjaan.

Tapi, terlepas dari peristiwa PRRI, mungkin sudah kehendak zaman, kondisi yang menciptakan ruang untuk berlatih berdiskusi antar orang tua dan anak muda atau antar sesama anak muda, memang tidak lagi banyak diminati warga.

Sebetulnya, kunci kenapa dulu orang Minang banyak melahirkan tokoh di berbagai bidang, antara lain ditunjang dengan adanya iklim yang kondusif untuk berdiskusi.

Paling tidak, ada empat tempat diskusi yang menjadi semacam kawah candradimuka bagi para remaja, yakni surau, lapau, dangau, dan rumah gadang. Mari kita urai satu persatu. 

Pertama, surau yang secara sederhana adalah tempat beribadah, mirip langgar atau musala. Namun, fungsi surau di Sumbar zaman dulu, lebih dari sekadar tempat salat berjamaah, karena ada fungsi pendidikan dan sosialnya. 

Belajar mengaji menjadi kewajiban semua anak yang dilakukan di surau. Sedangkan bagi anak yang sudah remaja, juga belajar agama berupa konsep dasar agama Islam yang antara lain dengan metode diskusi. 

Anak laki-laki di Minangkabau dulunya punya budaya tidur di surau. Di rumah gadang (rumah tradisional), tidak ada kamar untuk anak laki-laki, hanya untuk orang tua dan anak perempuan.

Sebelum tidur, biasanya di halaman surau anak-anak tersebut berlatih pencak silat. Jelaslah, peranan surau demikian penting di masa lalu dalam membentuk karakter tangguh orang Minang. 

Tak heran bila saat dewasa banyak yang sukses di tanah perantauan, karena sudah punya bekal agama, ketrampilan berbicara, juga mental yang tangguh karena menguasai bela diri.

Sekarang, seiring dengan makin sedikitnya warga Sumbar yang tinggal di rumah gadang, budaya tidur di surau pun bisa dikatakan nyaris hilang. 

Kedua, lapau atau semacam warung kopi, menjadi tempat yang sering dipakai buat berdiskusi soal sosial dan politik. Bukan hanya politik lokal yang dibahas, tapi juga politik nasional, bahkan internasional. 

Berita di koran atau televisi (zaman dahulu masih radio), sering menjadi hal yang memicu munculnya diskusi. Dan itu terjadi tidak hanya di lapau-lapau di kota, tapi juga di desa.

Para perantau yang sedang pulang kampung sering pula jadi narasumber diskusi di lapau. Banyak pembangunan di desa, seperti membangun jalan, madrasah, panti asuhan, dan sebagainya, bermula dari diskusi di lapau.

Sayangnya, kemudian fungsi lapau lebih banyak untuk main gaple sambil ngobrol ngalor ngidul saja. Bahkan, sejak era semua orang punya haandphone, main media sosial jadi pilihan banyak orang ketimbang berdiskusi secara langsung.

Ketiga, dangau, yakni semacam tempat berteduh di ladang atau sawah. 

Dangau yang agak besar juga menjadi tempat memyimpan perkakas pertanian dan bahkan menjadi tempat tidur bila lagi menunggui ladang saat panen.

Di dangau pula terjadi diskusi antar petani membahas masalah seputar pertanian, meskipun bisa melebar ke soal lainnya. Intinya, para petani pun terbiasa berdiskusi dalam rangka mencari solusi atas masalah yang meraka hadapi.

Dulu, bagi warga desa yang tidak pergi merantau, sudah bisa dipastikan bahwa mereka adalah petani yang tekun. Namun, sekarang banyak anak muda yang kurang tertarik dengan pertanian. Jadi, diskusi di dangau sudah sangat jarang dilakukan.

Keempat, Rumah Gadang tempat diskusi soal adat dan kebudayaan. 

Kemampuan seseorang menyampaikan pepatah petitih Minang yang bernilai sastra tinggi, diasah di rumah gadang dan diturunkan langsung oleh ninik mamak yang menguasai seluk beluk adat Minangkabau.

Masalahnya, perhatian anak muda Minang akhir-akhir ini terhadap pelestarian adat sudah semakin berkurang. Lagipula, warga yang mendiami rumah gadang makin sedikit, seiring dengan gencarnya masing-masing keluarga membangun rumah pribadi.

Pembangunan rumah gadang bercorak modern untuk perkantoran masih berjalan, tapi hanya sekadar ornamen pada arsitekturnya. Namun, rumah gadang yang dibangun oleh suatu keluarga besar atas nama suku (marga) tertentu di sebuah desa, sudah semakin langka

Kesimpulannya, seperti telah disinggung di atas, sekarang, fungsi surau, lapau, dangau, dan rumah gadang sebagai tempat berdiskusi sudah jauh menurun. Untuk membangkitkan kembali, bukan perkara gampang, namun bukan suatu hal yang mustahil.

Paling tidak, dunia pendidikan di Sumbar, baik pendidikan umum maupun pendidikan agama perlu lebih aktif lagi mengasah kemampuan berdiskusi anak didiknya. 

Peranan guru, ulama, pemuka adat, serta tentu juga pemerintah daerah akan sangat menentukan, terutama dengan menggunakan berbagai metode komunikasi sehingga menarik minat para remaja dan anak muda di Ranah Minang untuk belajar seni berdiskusi.

Surau di Sumbar (dok. dewi/suara muhammadiyah.id)
Surau di Sumbar (dok. dewi/suara muhammadiyah.id)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kurma Selengkapnya
Lihat Kurma Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun