Bagi para profesional, bulan puasa bukan berarti bulan untuk bermalas-malasan. Bahwa bulan puasa perlu dimanfaatkan untuk memperbanyak ibadah, bukan menjadi alasan bagi penurunan produktivitas kerja.
Bahkan, bekerja pun bisa bernilai ibadah, bila dilakukan secara bersungguh-sungguh dan diniatkan karena Allah. Dengan bekerja pula kita bisa mendapatkan rezeki yang halal dan nantinya dimanfaatkan sesuai ajaran agama, misalnya dengan membayar zakat, infak dan sedekah.
Maka, membahas dunia kerja dalam konteks "kisah untuk Ramadan", rasanya tetap relevan. Kita dituntut untuk bekerja keras sekaligus bekerja cerdas, agar mampu menghasilkan kinerja yang cemerlang.
Kinerja cemerlang itu, dari kacamata mereka yang berkarier di suatu instansi pemerintah atau pada suatu perusahaan, baik milik negara ataupun swasta, ditunjukkan pada keberhasilan menggapai posisi atau jabatan yang tinggi.
Namun demikian, terhadap mereka yang sudah bekerja sebaik mungkin, bisa saja pada suatu tahap mengalami kegagalan. Artinya, mereka kalah bersaing dalam menggapai posisi yang lebih tinggi atau kinerjanya tidak mencapai target yang ditetapkan atasannya.
Atau, bisa juga apa yang telah mereka idam-idamkan, gagal diwujudkan. Kegagalan itu sendiri sebetulnya hal yang lumrah. Masalahnya adalah bagaimana kita menyikapinya?
Salah satu impian saya sewaktu diterima bekerja di sebuah BUMN adalah mendapat kesempatan meraih gelar master di luar negeri atas biaya dinas. Ketika itu, di penghujung dekade 1980-an, beberapa senior saya dikirim ke sejumlah universitas di Amerika Serikat (AS).
Bahkan, ada juga beberapa senior yang sudah menyelesaikan studinya dengan menggondol gelar MBA, langsung mendapat posisi yang strategis, dan saya menduga karir mereka akan cemerlang.
Untuk dikirim belajar ke luar negeri, ketika itu ada tiga jenis tes yang harus saya ikuti, yakni tes potensi akademik (TPA), tes bahasa Inggris (TOEFL) serta psikotes. Saya ketika itu terganjal di psikotes.
Cukup down saya pada awalnya, merasa kalah dengan beberapa orang teman saya yang lolos seleksi. Bahkan, dua di antara yang lolos adalah teman satu angkatan yang akrab dengan saya.
Berkat sering membaca buku-buku motivasi, saya cepat sadar, bahwa ada banyak cara untuk berhasil dalam berkarier. Pendidikan tinggi di luar negeri bukan satu-satunya jalan.
Seperti pernah saya tulis di  sini, saya menemukan jalan untuk mencuri perhatian para petinggi di tempat saya bekerja dengan menulis opini yang berhasil dimuat di media cetak nasional.
Opini tersebut sengaja saya buat yang berkaitan, baik langsung maupun tidak langsung, dengan bidang pekerjaan saya di kantor. Saya juga aktif menulis di majalah internal perusahaan tempat saya bekerja.
Kemudian, semangat saya juga terlecut dalam berbagai kesempatan pendidikan internal yang diselenggarakan  oleh Pusat Pendidikan dan Pelatihan (Pusdiklat) di BUMN tempat saya mengabdi.
Saya berhasil meraih peringkat satu pada pendidikan kedinasan sebagai syarat untuk promosi dari staf senior menjadi manajer. Tentu ini menjadi credit point dalam portofolio saya di database kepegawaian.
Hal yang juga sangat saya syukuri, pada tahun 1997, pertama kalinya direksi perusahaan membuat program pengiriman karyawan mengikuti program magister manajemen di PTN papan atas di dalam negeri.
Saya tertarik untuk mendaftar karena secara umur saya masih memenuhi syarat (belum melewati usia maksimum yang diperkenankan). Sama seperti yang ke luar negeri, terlebih dahulu karyawan yang berminat dites TPA dan TOEFL-nya. Hanya, passing grade untuk TOEFL sedikit lebih rendah.
Alhamdulillah, saya berhasil lolos seleksi, meskipun persentase yang lolos sangat kecil dibandingkan keseluruhan karyawan yang dites. Dua tahun setelah itu saya telah berhak mencantumkan gelar MM di belakang nama saya.
Tidak begitu jelas, apakah pihak manajemen memberikan perlakuan yang berbeda, misalnya karyawan dengan gelar MBA dari luar negeri dinilai lebih tinggi ketimbang MM seperti saya. Tapi, saya semakin percaya diri bila adu argumen dengan teman-teman yang bergelar MBA.
Rasa percaya diri saya itu saya perlihatkan ketika ikut lagi pada program pendidikan kedinasan (ketika itu menjadi kewajiban sebagai salah satu syarat untuk menduduki jabatan eselon 2, sekarang kewajiban seperti itu sudah dihapus).Â
Pengajar pendidikan tersebut banyak yang didatangkan dari luar perusahaan, sehingga menurut saya penilaiannya lebih objektif. Contoh yang menjadi pengajar adalah sejumlah pejabat tinggi Bank Indonesia, guru besar dari Universitas Indonesia, dan nama-nama profesional yang terkenal di level nasional.
Di kelas yang saya ikuti tersebut, saya satu kelas dengan 8 orang S2 dari luar negeri dan sebagian besar adalah senior saya. Pada penutupan pendidikan, saya diumumkan sebagai peraih peringkat 2. Inilah bukti produk pendidikan dalam negeri juga bisa bersaing.
Keinginan saya untuk merasakan atmosfer belajar di luar negeri akhirnya kesampaian juga (antara lain di Australia, Singapura, Hongkong, Jepang, Inggris dan AS), meskipun hanya untuk pelatihan singkat dengan durasi yang bervariasi dari satu minggu hingga yang terlama 3 bulan.
Poin saya adalah, ketika pada satu titik, kegagalan menghampiri kita, boleh-boleh saja kita merasa terpuruk. Namun, segera sadar bahwa kesempatan untuk maju masih terbentang luas. Tempuhlah jalur lain, yang penting tetap sampai ke tujuan. Toh, banyak jalan menuju Roma.
Hal lain yang menjadi catatan saya, meskipun nama besar lembaga pendidikan tempat seseorang belajar punya "nilai jual", pada akhirnya yang menentukan adalah ketangguhan individu sewaktu terjun di lapangan.
Jadi, bagi lulusan dari daerah dan dari lembaga pendidikan yang relatif tidak dikenal, jangan langsung ciut nyalinya untuk bersaing dengan lulusan luar negeri sekalipun.
Sebetulnya, saya memasang target hidup yang tidak tinggi. Hal ini mungkin mengingat saya berasal dari keluarga dengan tingkat ekonomi yang sangat terbatas. Saya tidak silau dengan teman-teman yang baru 3 tahun bekerja sudah mampu membeli mobil.
Tapi, tentu cita-cita harus digantungkan setinggi langit. Maka, dalam meniti karier, saya sengaja memasang tiga jenis target, yakni versi tinggi, versi moderat, dan versi rendah.
Sengaja saya membuat tiga versi agar tidak membaut saya merasa terpuruk bila tertinggal dari teman-teman. Bisa finish (maksudnya memasuki pensiun) dengan selamat tanpa sekalipun pernah terkena hukuman jabatan, sudah saya syukuri.
Soalnya ada dua teman saya satu angkatan yang dipecat gara-gara perbuatannya yang merugikan perusahaan atau mencemarkan reputasi perusahaan. Jadi, kalaupun kita tidak berprestasi tinggi, minimal jangan jadi perusak.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H