"Lain padang lain belalang, lain lubuk lain ikannya", kata pepatah lama. Maksudnya kurang lebih bahwa masing-masing daerah punya budaya yang berbeda atau punya sesuatu yang khas.Â
Seperti sekarang ini, umat Islam tak lama lagi akan memasuki bulan suci Ramadhan atau lebih sering disebut sebagai bulan puasa. Nah, masing-masing daerah di negara kita, punya cara yang berbeda-beda dalam menyongsong bulan penuh rahmat itu.
Saya teringat dengan masa kecil hingga remaja, yang saya jalani di kota Payakumbuh, Sumatera Barat. Salah satu kebiasaan pada hari Sabtu terakhir sebelum memasuki bulan puasa, masyarakat melakukan gotong royong membersihkan pandam pekuburan.
Kebanyakan pandam pekuburan atau tempat pemakaman umum di Payakumbuh bukan disediakan pemerintah, tapi milik jorong (masyarakat adat di tingkat kelurahan atau desa). Ada juga pandam pekuburan milik komunitas tertentu.
Seperti di kelurahan tempat dulu saya tinggal (Kelurahan Padang Tangah, Kecamatan Payakumbuh Barat), punya pandam pekuburan yang relatif luas. Demikian pula di kelurahan tempat kakak saya tinggal sekarang (Kelurahan Tanjung Gadang, Kecamatan Payakumbuh Barat).
Sebelum saya menjadi warga DKI Jakarta di tahun 1986, saya rutin ikut bergotong royong membersihkan pandam pekuburan di Padang Tangah bersama sekitar 200-an lelaki lainnya.Â
Gotong royong dimulai sekitar pukul 8 pagi dan berakhir sekitar pukul 11 siang. Awalnya, saya dan ayah saya akan mencari makam keluarga sendiri. Ada nenek saya (ibu dari ayah) dan adik lelaki ayah saya yang dimakamkan disana.
Setelah itu baru bergabung dengan warga lain membersihkan makam siapa saja. Banyak juga kuburan lama yang sudah tidak terawat. Karena dibersihkan setahun sekali, semak-semak di kuburan-kuburan tersebut lumayan tinggi.
Karena semak yang tinggi itulah, perlu kehati-hatian dalam melangkahkan kaki, karena pembatas antara jalan kecil antar kuburan sudah kabur. Ada kepercayaan masyarakat tidak boleh melangkahi kuburan. Atau, kalau terpaksa, harus membaca assalamualaikum terlebih dahulu.
Nah, acara yang saya tunggu-tunggu sebetulnya adalah sesudah gotong royong selesai, yakni makan basamo (makan bersama). Sekitar jam 10 biasanya ibu-ibu atau anak perempuan sudah datang di sebuah tanah lapang tak jauh dari pandam pekuburan.
Di sana digelar tikar panjang untuk tempat makanan yang dibawa ibu-ibu tersebut. Masing-masingnya membawa nampan (wadah untuk makanan dalam ukuran besar) berisikan nasi dan lauk pauk.Â
Ada juga yang ditambah dengan makanan kecil yang sering disebut sebagai ubek padeh (obat pedas). Karena makanan Minang rata-rata pedas, setelah makanan utama, perlu ditutup dengan ubek padeh yang manis, seperti agar-agar, kue bolu, atau buah pisang.
Sebetulnya, di situ ada juga bangunan memanjang beratap seng tanpa dinding. Tapi, bangunan ini hanya dipakai menjadi tempat makan basamo bila turun hujan.
Saya sengaja mendahului mengakhiri pekerjaan, di samping karena kelelahan, juga agar nantinya tidak antri di pincuran air untuk membersihkan tangan dan kaki.
Setelah itu, ini bagian yang saya suka, saya mengitari semua makanan yang digelar, mencari makanan yang kiranya menggoda selera saya. Jika semua makanan terlihat standar saja, saya akan mencari ibu saya dan bertanya yang mana yang makanan masakan ibu saya?
Saya akan mengambil posisi tidak jauh dari makanan yang saya incar. Begitu semua berkumpul dan dibolehkan duduk bersila, saya sudah langsung berhadapan dengan si penggoda selera.
Meskipun begitu, belum boleh buru-buru makan. Akan ada beberapa kata sambutan, yakni dari kepala jorong, tokoh masyarakat, dan ditutup dengan pembacaan doa oleh seorang buya yang menjadi imam di musala jorong.
Barulah acara cepak cepong (bahasa Minang untuk makan penuh nafsu) dimulai. Memang, sebetulnya ada tata cara makan basamo, agar tercipta ketertiban.
Karena kebiasaan orang Minang makan pakai tangan (tidak menggunakan sendok), harus hati-hati waktu mengambil lauk di piring lain untuk dimasukkan ke piring nasi sendiri.Â
Sebaiknya, saat tangan masih bersih, ambil nasi dan lauk pauk sejumlah yang diperlukan, sehingga tidak perlu batambuah (minta nasi atau lauk tambahan).
Jika mengincar lauk yang letaknya jauh dari jangkauan, harus minta tolong pada orang lain dan diserahkan secara estafet. Kalau main sambar saja, pasti teman di sebelah merasa kurang nyaman, bahkan bisa merasa jijik, bila terkesan jadi kotor.
Tapi, secara umum bisa dikatakan, makan basamo itu asyik. Selain menikmati makanan, keuntungan lain adalah sekaligus ajang silaturahmi.
Apalagi, acara diakhiri dengan ramah tamah dan saling bermaaf-maafan, sambil mengucapkan selamat memasuki bulan suci. Jika tidak ikut makan basamo, tentu akan butuh waktu buat bermaaf-maafan sesama warga Jorong Padang Tangah.
Perut sudah kenyang, tentu sudah saatnya pulang ke rumah. Bapak-bapak membawa peralatan yang tadi dipakai buat gotong royong seperti cangkul dan parang.
Sedangkan ibu-ibu akan mengambil nampan dan membersihkan sisa makanan. Panitia melipat tikar untuk dibawa lagi ke musala atau ke rumah warga yang meminjamkan tikarnya.
Begitulah sekelumit kisah saya di masa remaja, yang tidak saya temui setelah menjadi warga DKI Jakarta.Â
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI