Putus cinta itu soal biasa. Bagi para "ahli hisab" alias para perokok berat, putus rokok lebih berat daripada putus cinta. Bagi mahasiswa yang kuliah di kota yang jauh dari domisili orang tuanya, putus kiriman uang, menjadi hal yang paling berat.
Tapi, lupakan dulu soal "putus-putus" yang lain, karena tulisan ini lebih fokus pada putus cinta. Jika lagi sayang-sayangnya, ternyata orang yang diharapkan kelak akan menjadi pendamping hidup dalam rumah tangga yang sakinah, malah memutuskan hubungan, apa ini tidak "kiamat"?
Yang pernah jatuh cinta pasti bisa membayangkan tingkah laku seseorang yang tergila-gila pada pujaan hatinya. Ke mana-mana selalu berdua, lengket bagai perangko dan amplop. Lalu, bagai disambar petir di siang bolong, tiba-tiba ditinggal sendiri, sang pujaan hati terbang entah ke mana.
Tentu saja yang merasa nyesek di dada adalah pihak yang diputuskan. Pasti lebih sakit dari sakit gigi. Sedangkan bagi yang memutuskan hubungan, Â ya kehidupan berlanjut dengan memulai petualangan baru.
Cepat atau lambat, orang yang disakiti, secara umum akan sembuh sendiri, meskipun pada satu dua kasus ada yang mengalami depresi. Di lain pihak, orang yang memutuskan hubungan tanpa memikirkan kekejamannya menghancurkan harapan sang mantan, bisa jadi nanti menyesal.
Bukankah orang yang teraniaya, doanya dikabulkan Tuhan? Bukankah orang yang tersakiti punya motivasi berlipat untuk menunjukkan ia bisa sukses. Dendam kesumat, bila dikelola secara positif, bisa membawa kesuksesan.
Jangan heran, belasan tahun kemudian, akan ada mantan yang kecewa di balik kesuksesan seseorang. Jadi, di balik karir sukses seorang suami, ada peran istri yang luar biasa di belakang layar, serta itu tadi, ada mantan yang berurai air mata.
Dan itu juga berlaku sebaliknya. Di balik kesuksesan seorang istri (bisa dalam meniti karir, bisa sebagai sosialita, bisa dalam bidang sosial, atau keberhasilan untuk selalu tampil cantik dan langsing di depan khalayak), ada peran suami yang mendukung, serta mantan yang menyesal.Â
Namun, ngomong-ngomong, tentu tidak semua mantan harus kecewa. Ada mantan yang bersyukur hubungannya putus, karena belasan tahun kemudian, ia melihat betapa cepatnya kecantikan atau ketampanan seseorang memudar.
Ada pula orang yang dulu kaya raya dengan pemuja yang banyak, sehingga seenaknya saja memutuskan pacarnya, begitu bertemu dengan yang lebih cantik atau tampan. Tapi waktu berlalu, terjadilah kejatuhan bisnis, atau bila ia seorang pejabat, dipenjarakan karena korupsi.
Siapakah mantan yang menyesal atau bersyukur, siapa  yang kecewa atau bahagia, itu akan terlihat saat reuni, dengan asumsi tentu mantan pacar ikut reuni.
Asumsi berikutnya, hal itu terjadi pada yang dulunya terlibat pacaran dengan teman satu sekolah atau satu kampus, baik satu angkatan, maupun berbeda angkatan dengan selisih satu atau dua tahun.
Kisah kasih di sekolah atau di kampus memang lazim terjadi, kecuali jika sekolah atau kuliah di tempat tertentu yang jumlah cowok dan ceweknya sangat timpang.Â
Contohnya, zaman dulu ada yang namanya Sekolah Teknik Menengah (STM), yang pelajarnya nyaris semuanya cowok. Atau di Sekolah Kesejahteraan Keluarga Atas (SKKA) yang semuanya nyaris cewek.
Makanya jarang terdengar acara reuni anak STM atau SKKA, karena dulu mereka terpaksa melakukan ekspansi ke sekolah lain demi mendapat pacar. Tapi, untuk sekolah umum, sejak beberapa tahun terakhir ini, reuni jadi "ritual wajib", bahkan ada yang setahun tiga kali.
Tentu saja reuni menjadi demikian sering terjadi gara-gara maraknya media sosial, sehingga mengumpulkan teman lama, bukan lagi perkara sulit.
Belum lagi bila dihitung reuni tipis-tipis yang tidak perlu pakai panitia dan kaos seragam. Reuni tipis-tipis ini hanya melibatkan beberapa orang yang dulu satu geng dan biasanya terdiri dari beberapa pasang yang dulu berpacaran.
Lalu, setelah reuni tipis-tipis, bisa jadi ada pasangan yang mengalami CLBK, alias cinta lama bersemi kembali. Sehingga, reuninya cukup berdua saja, merajut kembali cerita indah masa lalu.
Setelah itu, ada lho, yang memilih berpisah dengan suami atau istrinya, agar bisa mengukuhkan CLBK dalam ikatan pernikahan yang sah secara agama dan hukum nasional.
Jika dipikir-pikir, semua itu bermula dari media sosial. Hal inilah yang membuat yang jauh jadi dekat dan yang dekat jadi jauh. Dengan pasangan resmi malah renggang, justru asyik bermedia sosial dengan mantan terindah.
Lalu berlanjut dengan reuni demi reuni yang terlalu sering. Kalau sudah begitu, bagaimana mau melupakan mantan?Â
Maka, sangat dibutuhkan pengendalian diri yang kuat, agar reuni hanya sekadar reuni. Sekadar mempererat silaturahmi, syukur-syukur ada misi sosialnya, membantu teman-teman yang kekurangan.
Cerita yang disinggung di atas, di mana ada pasangan yang bercerai demi CLBK, anggap saja sebagai pengecualian. Bukan hal yang baik untuk ditiru.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H