Mohon tunggu...
Irwan Rinaldi Sikumbang
Irwan Rinaldi Sikumbang Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

menulis untuk menikmati kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Financial Pilihan

Pesatnya Pertumbuhan Investor Individual, "Blessing in Disguise" di Tengah Pandemi?

7 April 2021   10:10 Diperbarui: 7 April 2021   10:48 728
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
dok. beritasatu photo/investor.id

Di balik pertumbuhan ekonomi nasional yang negatif pada tahun 2020 lalu karena dihantam badai pandemi Covid-19, masih terselip beberapa indikator yang memperlihatkan kemajuan yang signifikan.

Sebagai contoh, Kompas (3/4/2021), pada rubrik Konsultasi Investasi, memaparkan data bahwa pada tahun 2020, Bursa Efek Indonesia (BEI) mencatat ada 1.695.268 Single Investor Identification alias meningkat 53,47 persen dibandingkan dengan tahun sebelumnya.

Hal tersebut linear dengan pertumbuhan investor Surat Berharga Negara (SBN) dari Kementerian Keuangan dan juga penambahan investor emas di lembaga pegadaian.

Artinya, secara individual, semakin banyak yang menginvestasikan dananya dengan membeli produk yang diperdagangkan di BEI, seperti saham dan obligasi. Demikian pula yang membeli SBN dan emas. 

Jadi, di tengah meningkatnya jumlah pekerja yang terkena pemutusan hubungan kerja (PHK), diperkirakan relatif cukup banyak warga yang masih punya dana. 

Dana tersebut mungkin dipersiapkan buat berwisata ke luar negeri, untuk menyiapkan resepsi atau semacam itu, atau rencana lainnya yang akhirnya harus ditunda atau ditiadakan karena berlakunya pembatasan sosial.

Atau, bisa juga dana tersebut selama ini hanya parkir sebagai tabungan di bank. Nah, seperti diketahui, bunga tabungan bank setahun terakhir ini, menjadi yang terendah sepanjang sejarah, yakni di kisaran 1-2 persen per tahun. Itu belum dihitung dengan potongan pajak atas bunga dan biaya administrasi bank.

Bahkan, kalau pun ditempatkan sebagai deposito, hanya mendapat imbalan sekitar 3 persen per tahun. Maka, di tengah kondisi seperti itu, mereka yang punya dana, tentu harus memutar akal, mencari alternatif lain.

Di lain pihak, pihak-pihak yang terkait dengan investasi di BEI, lumayan gencar melakukan promosi. Program bertajuk "Yuk Nabung Saham" terbilang sukses dengan menyasar segmen mahasiswa dan mereka yang baru memasuki dunia kerja.

Dengan program tersebut, generasi milenial diyakinkan bahwa meskipun mereka belum punya uang banyak, tetap bisa jadi investor. Cukup dengan beberapa ratus ribu rupiah, sudah bisa membeli beberapa lot saham berkategori bluechip (unggulan) di BEI.

Tak kalah pula peranan teknologi informasi. Generasi milenial yang rata-rata sangat akrab perdagangan online, sudah bisa bertransaksi saham melalui gawai di tangan.

Karena jaringan internet juga sudah tersebar, paling tidak hingga kota-kota kabupaten, maka jangan mengira investor baru hanya warga ibu kota saja. Tidak sedikit investor yang berdomisili di daerah.

Jadi, pandemi yang telah memporakporandakan perekonomian nasional, bila dilihat secara parsial, untuk bidang-bidang tertentu, malah menjadi blessing in disguise (berkah tersembunyi). Contohnya, ya pada investor saham itu tadi.

Masalahnya, para penggiat pasar modal, terutama perusahaan sekuritas yang berfungsi sebagai perantara perdagangan saham, harus mengedukasi secara lengkap kepada para investor yang menjadi nasabahnya.

Jangan hanya ceritakan sisi manisnya saja, sisi pahitnya juga. Sehingga, bila harga saham tiba-tiba anjlok, para investor pemula tidak langsung panik. 

Untungnya, lagi-lagi pandemi Covid-19 membawa hikmah. Bukankah sepanjang satu tahun terakhir ini, pergerakan indeks harga saham di BEI bergerak sangat fluktiatif. Pernah terjun bebas dan pernah pula melesat tajam.

Dan gelombang turun naik seperti itu, terjadi berulang-ulang, terutama sebagai respon atas kondisi perekonomian, perkembangan pengendalian pandemi, hingga masalah politik global.

Semoga pada masa mendatang, para investor di pasar modal tidak saja besar jumlah individunya, tapi juga frekuensi dan volume transaksinya. Satu lagi, para investor itu juga meningkatkan pengetahuannya, bukan menjadi investor ikut-ikutan semata. 

Peranan investor domestik sangat diharapkan untuk bisa membendung dominasi investor asing. Sebagaimana diketahui, fluktuasi harga saham di BEI masih digerakkan oleh investor asing, karena dananya yang besar.

Jika investor asing ramai-ramai membeli saham di BEI, harga saham yang dibeli akan terkerek. Adapun bila investor asing ramai-ramai melakukan aksi jual, harga saham akan anjlok.

Masalahnya, investor domestik kebanyakan hanya mengikuti aksi yang dilakukan investor asing. Sehingga, bila pihak asing menjual saham, diikuti oleh investor domestik melakukan hal yang sama, harga saham bisa terjun bebas.

Padahal, bila diyakini saham yang dijual investor asing merupakan saham perusahaan yang prospeknya cerah karena faktor fundamentalnya kuat, aksi jual asing bisa dilawan dengan aksi beli oleh investor domestik, sehingga penurunan harga saham tidak terlalu dalam.

Edukasi menjadi sangat penting, paling tidak investor menjadi tahu bagaimana menilai harga saham yang wajar. Dan ini menjadi salah satu kunci untuk meningkatkan penghasilan bagi para investor, baik sebagai penghasilan utama, maupun penghasilan sampingan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun