Berita pandemi Covid-19 dari berbagai penjuru tanah air yang ditayangkan di layar kaca, telah membuka mata saya, bahwa ternyata Kepala Dinas (Kadis) Kesehatan di kabupaten/kota, termasuk juga di level provinsi, sebagian besar dijabat oleh wanita.
Sebelum ada pandemi, berita yang menjadikan pejabat dari instansi kesehatan di daerah-daerah sebagai sumber liputan, relatif jarang mengemuka. Tapi, setahun terakhir ini, wajah kepala dinas kesehatan, dari ujung barat di Aceh, hingga ujung timur di Papua, cukup sering menghiasi layar kaca.
Tidak hanya kepala dinas, tapi pejabat di bawahnya, seperti kepala seksi atau kepala puskesmas, juga lumayan banyak yang dijabat oleh wanita. Demikian pula di tingkat pusat, banyak personil Satgas Pengendalian Covid-19 yang diisi para wanita.
Dan, itu tadi, saya baru menyadari bahwa wanita di Indonesia, paling tidak dilihat dari sisi sumber daya manusia yang terlibat menangani masalah kesehatan, sudah lumayan maju.
Perlu diketahui, para kepala dinas itu boleh dikatakan semuanya dokter. Artinya, tentu mereka sebelumnya telah menyelesaikan kuliah di fakultas kedokteran.
Lalu saya teringat tulisan seorang dokter senior yang megasuh rubrik konsultasi kesehatan di harian Kompas, yang rutin muncul setiap Sabtu. Kata dokter tersebut, sejak belasan tahun terakhir, Â ada kecenderungan yang kuliah di fakultas kedokteran didominasi oleh wanita.
Di keluarga besar saya sendiri, (kakak, adik, termasuk ipar dan keponakan), ada 1 orang dokter spesialis, 4 orang dokter umum, dan 1 orang dokter gigi. Dari 6 orang dokter tersebut, hanya 1 orang yang laki-laki.
Padahal, tugas sebagai dokter relatif membutuhkan fisik yang kuat, terutama bila ditempatkan di daerah yang relatif terisolir. Atau, kalau istilah sekarang disebut dengan kawasan 3T (tertinggal, terdepan, terluar).
Tapi, stigma bahwa fisik wanita kurang mendukung untuk bekerja di pelosok, tidak bisa diterima begitu saja. Justru banyak dokter wanita yang baru lulus yang betah ditempatkan di daerah seperti itu.
Di luar dugaan, sebagian dokter pria malah berusaha dengan berbagai cara menembus birokrasi, agar ditempatkan di tempat yang lebih ramai. Dulu, konon perlu kasak-kusuk agar seorang dokter yang ASN bisa ditugaskan di daerah yang sudah relatif maju.
Nah, kenapa demikian banyak pejabat di Kementerian Kesehatan atau Dinas Kesehatan Provinsi, Kabupaten dan Kota, yang dijabat oleh perempuan, sudah terjawab. Hal ini karena mayoritas personilnya memang perempuan.