Mohon tunggu...
Irwan Rinaldi Sikumbang
Irwan Rinaldi Sikumbang Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

menulis untuk menikmati kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Worklife Artikel Utama

Kerja Sampingan, Cari Uang Vs Cari Kesenangan

2 April 2021   07:30 Diperbarui: 10 April 2021   02:47 1431
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kerja sampingan, merupakan hal yang lumrah bagi banyak orang, termasuk saya. Dengan jenis pekerjaan sampingan yang sama, tapi dilakukan pada waktu yang berbeda, saya menemukan hasil yang bertolak belakang. Hal itu terjadi, menurut saya, karena motif bekerja sampingan yang berbeda.

Mungkin karena sebagian besar keluarga saya berprofesi guru, saya pun merasa menikmati pekerjaan berdiri di depan kelas itu. Awalnya, saat kuliah di tingkat 3, saya sudah memberikan les privat akuntansi kepada mahasiswa tingkat bawah.

Kemudian, begitu mau selesai kuliah, saya secara resmi menyandang status asisten dosen. Hal ini berlanjut setelah diwisuda, saya diminta untuk mengabdi sebagai staf pengajar di kampus tempat saya menimba ilmu. 

Tidak seperti sekarang, ketika itu, di paruh kedua dekade 1980-an, untuk menjadi dosen tidak harus punya ijazah S-2. Justru dosen muda nantinya akan dibiayai negara mengikuti pendidikan S-2 dan S-3, baik di dalam maupun di luar negeri.

Masalahnya, birokrasi agar diterbitkan surat keputusan pengangkatan saya sebagai pegawai negeri sipil (PNS) karena saya mengajar di perguruan tinggi negeri (PTN), terlalu lama di proses oleh Badan Administrasi dan Kepegawaian Negara (BAKN).

Ringkas cerita, saya mulai melirik informasi lowongan kerja di media cetak terbitan ibu kota. Akhirnya, nasib membawa saya berlabuh di kantor pusat sebuah BUMN, dan otomatis melepaskan peluang jadi PNS.

Dasar saya tidak pernah puas, soal gaji jadi ganjalan saya di BUMN tersebut. Memang, gaji bulanannya masih di atas gaji PNS untuk dosen baru diangkat. Tapi kalau saya tetap menjadi dosen, ditambah honor "ngamen" di dua PTS, maka melebihi gaji saya sebagai pemula di BUMN.

Ndilalahnya, datang surat dari ibu saya, minta tolong agar membantu biaya kuliah adik saya. Dan itu berarti saya harus mencari penghasilan tambahan, sehingga bisa lebih leluasa membantu adik saya.

Tanpa berpikir panjang, saya mengambil kesempatan kerja sampingan untuk menjadi pengajar di sebuah PTS di bilangan Kelapa Gading, Jakarta Utara.

Motif saya, jujur, semata-mata untuk mencari uang. Saya rela capek-capek naik bus kota jam 5 sore sehabis jam kantor di kawasan Semanggi, Jakarta Pusat. Jaraknya lumayan jauh, namun masih terkejar untuk mengajar dari jam 18.30 hingga 20.30. 

Semakin lelah lagi saat pulang dari kampus ke rumah famili tempat saya tinggal, karena dua kali naik bus. Saya tinggal di Mampang Prapatan, Jakarta Selatan.

Ternyata bekerja seperti itu membuat saya stres. Hanya dua tahun saya lakoni, kemudian saya menyerah. Apalagi saya sempat dirawat di rumah sakit selama dua minggu.

Mengejar rezeki tidak harus sebegitunya, karena kalau sudah ketemu jalannya, akan ada kemudahan. Perlahan-lahan, karier saya mulai naik. Kondisi perusahaan BUMN tempat saya bekerja juga semakin sehat, sehingga tingkat penggajian karyawan mengalami perbaikan.

Secara resmi saya tidak lagi punya kerja sampingan. Tapi, diam-diam saya mulai mengembangkan hobi menulis opini. Selama tiga tahun 1993-1995, tulisan saya relatif sering nongol di beberapa media cetak ibu kota. 

Adapun motif saya menulis, boleh dikatakan berimbang, antara mencari kesenangan dan mencari uang. Katakanlah 50:50 (berbeda dengan sekarang saya aktif menulis di Kompasiana, motifnya terutama untuk menikmati kehidupan, seperti yang saya tulis di profil saya).

Ketika itu, rata-rata dalam dalam satu bulan ada 3 artikel saya yang dimuat media cetak. Honornya lebih besar ketimbang honor saya mengajar. Kompas saat itu telah memberikan honor Rp 400.000 per artikel. Tapi koran lain yang lebih sering memuat tulisan saya, Bisnis Indonesia dan Republika, memberi honor Rp 150.000.

Tahun 1996 ketika saya sudah punya jabatan struktural, sehingga punya tanggung jawab lebih besar, praktis tidak sempat lagi menulis. Tak ada kerja sampingan yang saya lakukan hingga 2016.

Nah, kegiatan mengajar saya "jilid 2" kembali saya lakukan sejak pertengahan 2016, dengan motif yang sangat berbeda dengan "jilid 1". Bukannya sombong, niat untuk mencari penghasilan tambahan, betul-betul tidak menjadi pertimbangan. Atau, hanya sebagai pertimbangan yang kesekian.

Adapun pertimbangan utama adalah sebagai kegiatan bersenang-senang sambil meng-up date ilmu. Bukankah untuk mempersiapkan bahan kuliah saya harus belajar lagi?

Memang, saya jadi punya banyak waktu luang karena penugasan di BUMN secara penuh waktu sudah berakhir. Masih ada job di kantor, tapi sifatnya fleksibel yang bisa dipenuhi dengan bekerja dua hari dalam seminggu.

Bergaul dengan mahasiswa yang rata-rata seusia anak bungsu saya, saya juga merasa muda. Itulah kesenangan yang bisa saya nikmati. Istilah-istilah gaul anak sekarang pun jadi menambah perbendaharaan kata-kata saya.

Bila dulu saya stres gara-gara mengajar, sekarang mengajar malah jadi obat stres. Itulah bedanya kerja sampingan bermotifkan mencari uang dan bermotifkan mencari kesenangan sambil menambah ilmu.

Suatu pekerjaan, bila tujuannya semata-mata mencari uang, biasanya akan menjadi beban. Tapi, bila uang sebagai konsekuensi logis dari sebuah pekerjaan, yang tanpa ditunggu-tunggu karena keasyikan bekerja, toh nantinya akan datang sendiri.

Kalau sudah rezeki, tidak akan tertukar. Kalau belum rezeki, di kejar ke mana pun, malah semakin sulit digapai.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun