Ini kisah teman saya. Dalam tulisan ini, teman saya itu saya sebut saja sebagai "Si Mama", karena memang tiga anak-anaknya memanggilnya "mama".Â
Si Mama punya 3 anak. Dua anak perempuan, keduanya sudah menikah. Kemudian, si bungsu, saya sebut saja "Si Bujang", karena memang masih bujang, meskipun usianya sudah 32 tahun (Juli tahun ini jadi 33 tahun) dan bekerja sebagai kepala cabang pembantu di sebuah bank papan atas.
Memang, di zaman sekarang, umur 30-an awal, bagi laki-laki belum terbilang terlambat untuk menikah. Tapi, seperti diceritakan si mama kepada saya, ia mulai resah. Jangankan menikah, ia belum melihat Bujang punya teman dekat wanita.
Sebelum saya menerawang kenapa Bujang belum menikah, saya perlu menjelaskan dulu tentang Si Mama. Menurut saya, Mama ini boleh dibilang "paket komplit", karena ia cakep, baik hati, dan trampil (pintar memasak, bisa menjahit baju, bisa menata taman, lihai menyetir mobil, dan sebagainya).
Penampilan Si Mama juga oke punya. Sepertinya ia pakai baju apa saja, tetap kelihatan menawan. Jika melihat wajah dan penampilannya, Si Mama lebih muda beberapa tahun dari usia yang sesungguhnya. Kalau Si Mama lagi berjalan berdua dengan Si Bujang, tidak terlihat seperti ibu dan anak.
Satu lagi kelebihan Si Mama, ia selalu menunjukkan kasih sayangnya kepada suami dan anak-anaknya secara tulus. Mungkin karena ia ibu rumah tangga biasa, sehingga ia punya banyak waktu dan sangat dekat dengan semua anaknya.
Tapi, tak bisa dipungkiri, meskipun tidak dicemburui oleh kakak-kakaknya, Si Bujang terlihat jadi "anak emas" Si Mama. Hal ini terbukti dari seringnya Si Mama memasak makanan kesukaaan Si Bujang. Padahal kepada anaknya yang lain tidak seperti itu.
Sebagai manusia biasa, tentu Si Mama bukan tidak punya kelemahan. Ia gampang bersedih dan jika ada masalah yang mengganggu pikirannya, ia cenderung overthinking. Itulah kenapa Si Mama sangat memikirkan jodoh anak bujangnya
Karena Si Bujang tidak punya pacar, teman-teman Si Mama yang punya anak gadis, sudah banyak yang mencoba mendekati, agar Si Bujang berkenalan dengan anak gadisnya. Tapi, begitulah, sejauh ini para anak gadis tersebut cukup antusias agar hubungan berlanjut, namun Si Bujangnya yang kurang bersemangat.
Kemudian, tidak lengkap kalau saya tidak menyinggung suaminya, sebut saja Si Papa. Biasa saja tampangnya, tapi punya posisi sebagai pejabat level menengah di sebuah pemprov. Si Papa relatif keras ke anak-anaknya, sehingga ada apa-apa, anak-anak akan "lari" ke mamanya..Â
Nah, sekarang baru deskripsi tentang Si Bujang. Â Wajahnya tampan, sepertinya menurun dari wajah mamanya (tapi dalam versi laki-laki, sehingga ciri maskulinnya tetap menonjol). Adapun 2 anak ceweknya, lebih berwajah papa.
Sebagai bukti Si Bujang termasuk tampan dan juga pintar, ia pernah menjadi finalis pada lomba semacam pemilihan abang dan none di provinsinya. Saat ikut lomba, Bujang masih berstatus mahasiswa di sebuah Perguruan Tinggi Negeri (PTN) favorit.
Dari cerita Si Mama, saya menyimpulkan bahwa Si Bujang sangat mengidolakan mamanya. Lalu, dari hasil pengamatan saya, soal mama sebagai idola ini, ada kaitan yang erat dengan statusnya yang masih single.
Jika setiap teman cewek yang mau didekati atau yang mendekati Si Bujang, dibanding-bandingkan dengan mamanya, menurut saya, akan sulit mencari yang setara. Maksud saya, Si Bujang terlanjur punya standar yang tinggi.
Padahal saya yakin, Si Mama saat baru menikah, juga belum menjadi paket komplit, selain penampilan yang aduhai. Bahwa kemudian Si Mama mempunyai berbagai ketrampilan dan menyayangi keluarga dengan tulus, itu dilatih sambil menjalani kehidupan berumah tangga.
Saya melihat, Si Bujang sendiri tidak merasa resah dengan kejombloannya. Justru Si Mama yang sering galau. Ingin saya memberikan pandangan yang mungkin bisa membantu agar Si Bujang menemukan jodohnya.
Ternyata menjadi seorang ibu yang ideal pun, bukan tidak ada dampak negatifnya. Paling tidak, akan menjadi benchmark yang sulit ditandingi oleh calon menantunya.
Terbalik dengan ibu-ibu dari rumah tangga yang "berantakan". Anaknya bisa takut menikah bukan karena tidak ketemu calon pasangan, tapi trauma dengan apa yang dicontohkan orang tuanya.
Sayangnya saya bukan seorang psikolog. Saya tidak tahu apakah kasus seperti yang terjadi pada Si Mama dan Si Bujang di atas, dibahas dalam buku teks psikologi.Â
Dan tentu termasuk juga dari sisi sebaliknya, yakni apakah lazim bila anak gadis mendambakan calon suami yang berwajah dan berkarakter seperi papanya.Â
Kalau ada dibahas dalam buku-buku psikologi, saya ingin tahu, apa nama sindrom yang seperti itu? Atau, malah istilah sindrom tidak tepat digunakan dalam konteks ini.Â
Mudah-mudahan ada pembaca yang lebih memahami yang berbaik hati menuliskan pandangannya di kolom komentar. Sebelumnya, tak lupa saya mengucapkan terima kasih banyak.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H