Mohon tunggu...
Irwan Rinaldi Sikumbang
Irwan Rinaldi Sikumbang Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

menulis untuk menikmati kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Worklife Artikel Utama

Overthinking Gaya Anak Akuntansi, Selisih Satu Rupiah Tetap Dicari

23 Maret 2021   17:47 Diperbarui: 25 Maret 2021   18:48 1276
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kebetulan saya bekerja di divisi yang sesuai dengan latar belakang pendidikan saya. Saya seorang sarjana ekonomi jurusan akuntansi dan dalam meniti karier di sebuah BUMN, sebagian besar ditugaskan di divisi akuntansi.

Padahal, tidak sedikit mereka yang bergelar akuntan, tapi ditugaskan di divisi pemasaran atau divisi lain yang tidak begitu dominan berkaitan dengan akuntansi. Di lain pihak, ada pula yang bertugas di divisi akuntansi, meskipun latar belakang pendidikannya bukan ilmu akuntansi.

Begitulah, merupakan hal biasa, bila disiplin ilmu di bangku kuliah tidak menjadi faktor penentu dalam perjalanan karier seseorang. Tapi, sebagai ilmu, apa pun yang dipelajari akan tetap bermanfaat. Tak ada yang namanya sia-sia.

Nah, dalam hal pengalaman saya, tentu saya bersyukur, karena ilmu yang saya pelajari sangat membantu saya untuk menyelesaikan tugas yang harus saya lakukan di kantor.

Karena topik tulisan ini berkaitan dengan overthinking, maka berdasarkan pengalaman saya, ada dua jenis overthinking yang khas gaya anak akuntansi. Jika tulisan ini dianggap tidak mewakili, paling tidak, anggap saja bersifat subjektif versi saya pribadi.

Pertama, berkaitan dengan prosedur pekerjaan, sehingga mau tak mau harus overthinking. Akuntansi sudah baku mempunyai dua sisi yang harus sama angka pembukuannya, yakni sisi debit dan sisi kredit. 

Bila jumlah debit dan kredit tidak sama, pasti ada kesalahan. Di mana letak salahnya, harus dicari dengan menelusuri dokumen transaksi pembukuan. Proses penelusuran tersebut boleh dikatakan sebagai perilaku overthinking, karena kadang-kadang membutuhkan waktu dan tenaga yang tak sedikit.

Ekstremnya, walaupun selisih pembukuan yang terjadi hanya satu rupiah, tetap perlu ditelusuri. Sangat mungkin biaya untuk menelusurinya berkali-kali lipat dari satu rupiah, kalau misalnya perlu lembur, tentu pemakaian listrik di kantor jadi bertambah, selain kantor membayar uang lembur.

Tapi, dengan bantuan aplikasi teknologi informasi, sekarang mencari selisih pembukuan menjadi lebih gampang. Kalaupun tidak ketemu, bisa dibuku sebagai suspend account. Namun akun suspen ini tetap harus ditelusuri ke akun yang benar.

dok. finansialku.com
dok. finansialku.com
Terhadap pembukuan yang menurut divisi akuntansi sudah betul, belum tentu 100 persen aman. Bisa jadi saat diperiksa oleh auditor, ditemukan kekeliruan. 

Jadi, bisa dibayangkan tingkat overthinking orang audit harus melebihi overthinking-nya orang akuntansi. Auditor pun ada dua pihak, yakni auditor internal yang merupakan unit independen di perusahaan yang sama, serta auditor eksternal. 

Karena tempat saya bekerja bergerak di bidang keuangan dan berstatus BUMN, maka yang jadi auditor eksternalnya ada tiga institusi, yakni Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), dan Kantor Akuntan Publik (KAP).

Setiap auditor punya gaya overthinking yang berbeda-beda dan saya bersama teman-teman di divisi akuntansi harus mampu menyediakan data apa pun yang diminta mereka.

Kedua, overthinking yang bersifat pribadi dan seharusnya bisa dihindari. Jadi, hal ini sama sekali tidak terkait dengan tugas kantor. Hanya karena akuntansi sudah mendarah daging, tanpa saya sadari diterapkan pula secara pribadi.

Umpamanya begini, anggap saja saya punya kebiasaan setiap Sabtu pagi mengambil uang di ATM Rp 1.500.000. Ketika datang hari Sabtu berikutnya, sebelum ke ATM, uang di dompet saya rata-rata tersisa Rp 100.000 hingga Rp 200.000.

Nah, hari ini baru Selasa, uang di dompet saya hanya tersisa Rp 250.000. Ini bukan jumlah yang aman bagi saya jika bepergian ke luar rumah. Mungkin besok Rabu, tidak harus menunggu Sabtu, saya harus ke ATM lagi.

Yang bikin saya terjerumus ke tindakan overthinking, karena saya terpancing memeras otak. Berpikir keras, lari ke mana saja uang di dompet saya, kok cepat amat raibnya? 

Ada yang saya ingat dengan jelas, saya memang membeli sesuatu yang bukan kebutuhan rutin sebesar Rp 400.000 dan memberikan uang pada seseorang Rp 100.000.

Kemudian saya ambil kertas dan pulpen, saya ingat-ingat lagi semua pengeluaran saya sejak terakhir mengambil uang di ATM sampai detik ini. Pengeluaran rutin pun saya catat. Hasilnya, ada uang 200.000 yang "hilang tak tahu rimbanya". Inilah overthinking versi saya yang menghabiskan waktu.

Namun, ketika energi saya sudah habis dan mengikhlaskan agar overthinking-nya tidak berlarut-larut, aliran uang Rp 200.000 bisa bertemu saat saya dalam melakukan salat. Artinya, setan sukses menggoda saya, seharusnya saya berkonsentrasi dengan bacaan salat, ternyata setan mengajak saya overthinking lagi.

Bagi saya, catatan keuangan, khususnya tentang pengeluaran uang, sangat penting artinya untuk bahan evaluasi dan perencanaan penggunaan uang di masa datang.

Namun, tentu tidak praktis bila semua pengeluaran dicatat secara rinci seperti yang berlaku di kantor. Untuk pengeluaran rutin, kita cukup mengetahui berapa kebutuhan setiap hari, sehingga bisa mengalokasikan dana buat satu minggu atau bahkan hingga satu bulan.

Jika ada pengeluaran non-rutin, nah inilah yang menurut saya perlu dicatat, karena tidak gampang mengingatnya setelah beberapa hari. Masalahnya, saya kadang-kadang tidak disiplin mencatatnya, sehingga membuat saya terjebak dengan perilaku overthinking.

Sampai tingkat tertentu, menurut saya overthinking ada perlunya. Tapi, jangan kebablasan menghabiskan waktu hingga berjam-jam. Bahkan, menjadi lebih parah bila gara-gara overthinking membuat makan tak enak, tidur tak nyenyak. Ada saatnya kita harus menerima dengan ikhlas.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun