Sebetulnya saya tidak tertarik mengangkat kasus perselingkuhan artis Nisa Sabyan dengan Ayus, keyboardist Sabyan Gambus yang notabene sudah punya istri.Â
Jujur, saya tidak tahu latar belakang permasahannya. Apa yang muncul di permukaan, belum tentu benar.
Tapi istilah "merebut suami orang" yang disematkan pada Nisa, agak mengganggu saya. Saya tidak dalam posisi membela Nisa, namun izinkan saya untuk berterus terang bahwa saya tidak sependapat dengan istilah itu.
Menurut saya, dengan "merebut", seolah-olah terjadi main tarik-tarikan antara Nisa dan istri sah Ayus. Lalu, dalam hal ini, Ayus terlepas dari genggaman istrinya, berpindah ke tangan Nisa.
Padahal, siapa tahu, ya sekali lagi, siapa tahu, Ayus juga berperan besar dengan menjulurkan tangannya ke arah Nisa, sehingga Nisa dengan gampang bisa merebut. Bahkan, mungkin istilahnya bukan merebut, tapi menerima penyerahan diri Ayus.
Baik, saya cukupkan saja kisah Nisa sampai di situ. Soalnya, saya memang tidak ingin secara spesifik membahas kasus tersebut. Tulisan di bawah ini berlaku secara umum, bisa terjadi pada siapa saja.Â
Bahwa kasus perselingkuhan, harus diakui semakin banyak, meskipun masyarakat kita semakin religius dilihat dari gaya berpakaian. Maraknya media sosial yang membuat seseorang gampang mendapatkan teman, diduga ikut memicu kasus perselingkuhan.
Suami orang itu bukan barang tak bernyawa. Jadi, dalam rebut merebut, pasti ada kontribusi aktif si suami. Bisa saja, si suami yang berinisiatif memulai hubungan dengan perempuan lain, meski istrinya menunggu di rumah.
Apalagi, bila perempuan itu berstatus lajang, terlepas dari janda atau gadis, si lelaki merasa sah-sah saja, karena poligami tidak dilarang menurut agama Islam, meskipun dengan sejumlah persyaratan.
Itulah ketidakadilannya, kalau yang "gatal" itu suami orang. Meskipun pihak perempuan tidak merebut, malah direbut dari orang tuanya, tetap yang ditembak seorang perempuan yang masih single.Â
Ya, bisa dimaklumi bila muncul pertanyaan kepada si wanita, kenapa tidak bertanya dulu status seorang pria yang menggodanya, sudah punya istri atau belum.Â
Kalau pun si suami berbohong dengan mengatakan masih bujangan, pertanyaan berikutnya, kenapa si wanita percaya begitu saja. Bukankah seharusnya diselidiki terlebih dahulu.
Pokoknya, yang salah itu selalu si wanita. Padahal, seorang peselingkuh yang baik, memang lihai.  Ia rajin memberikan perhatian, memberi hadiah, sehingga lama-lama si gadis akan luluh.
Tapi, sekali lagi, kalangan umum menilai yang salah tetap si wanita. Sudah tahu yang menggoda punya istri di rumah, kok ya masih mau? Oke, saya tidak ingin berdebat tentang ini.Â
Hanya saja, saya yakin istilah merebut suami orang tidak bisa diartikan secara harfiah, seperti seseorang merebut sekotak perhiasan yang lagi dipegang orang lain.
Namun demikian, istilah tersebut terlanjur memasyarakat. Istilah ini beranak, melahirkan istilah "pelakor"Â
Sekarang kita sorot laki-laki yang direbut. Sebagai yang diperebutkan, tentu demikian berharga si lelaki tersebut. Jadi istilah ini seolah-olah meninggikan si lelaki.
Tapi dengan menganggap lelaki seperti "barang" yang ditarik-tarik dua wanita, seolah-olah lelaki itu mau saja diatur-atur, ini bisa ditafsirkan sebagai merendahkan, bahkan melecehkan.
Nah, bagaimana sebetulnya penafsiran yang tepat? "Merebut suami orang", apakah itu berarti meninggikan atau justru merendahkan harga diri seorang lelaki?Â
Ya, ini pada akhirnya berkaitan dengan harga diri. Atau, ya sudahlah, tak usah dipikirkan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H