Betulkah Jokowi alergi dikritik? Atau, mungkin orang-orang di lingkaran Jokowi yang terlalu berlebihan membungkam kritik terhadap Jokowi? Terhadap hal ini, saya tidak berani menduga-duga. Tapi, melihat perjalanan karirnya sejak menjadi Wali Kota Solo hingga sekarang menjadi orang nomor satu di republik ini, secara pribadi, Jokowi bersikap terbuka.
Namun demikian, tentu dengan jabatan sebagai presiden, mau tak mau, Jokowi "dipagari" oleh orang-orang yang dipercaya berada di lingkarannya. Bagaimanapun juga, bila sekarang ada sebagian kalangan yang menilai pemerintah mulai bertindak "keras" pada mereka yang menyampaikan kritik, perlu kecermatan dalam menanggapinya.
Memang, "keras" dan "tegas" berbeda tipis. Terlepas dari soal kritik terhadap pemerintah, secara umum, dilihat dari sisi yang memberikan kritik, lalu diserang balik, bisa jadi ditafsirkan sebagai bukti seseorang anti dikritik. Apalagi bila bantahan dari yang dikritik disampaikan memakai gertakan akan diproses secara hukum.Â
Tapi, dilihat dari sisi yang membalas kritik, barangkali cara mereka membantah, dianggap bukan cara yang keras, namun sekadar tegas saja. Maksudnya bisa jadi untuk memberikan efek jera, agar lain kali, kritik dilakukan secara lebih akurat yang disertai bukti yang jelas (soalnya, kalau sebuah kritik dibantah, konotasinya bukti yang diajukan yang melancarkan kritik, kurang akurat).
Nah, atas bantahan itulah, si pemberi kritik yang merasa telah menyampaikan kritik dengan bukti yang tepat, menilai si sasaran kritik masih alergi terhadap kritik, mau menang sendiri, dan tidak mau menerima "kebenaran".
Sengaja kebenaran saya beri tanda petik, karena pada akhirnya, akan terdapat dua versi kebenaran, jika masing-masing pihak tidak menemukan titik temu. Dalam hal ini, terdapat perbedaan persepsi, yang sebetulnya sangat wajar. Mungkin karena titik pandangnya yang berbeda.
Maka, sebetulnya melakukan kritik dan juga merespon kritik, adalah hal yang biasa. Siapa pun tentu pernah mengalami. Masalahnya, kritik di era sekarang identik dengan postingan di media sosial yang sering kebablasan menggunakan bahasa yang  cenderung vulgar.  Dan, parahnya, hal seperti ini cepat menjadi viral, sehingga bukan tidak mungkin membuat pihak yang menjadi sasaran hujatan, menjadi gerah.
Jadi, akhirnya apakah sebuah kritik tergolong wajar atau sudah masuk pada kategori ujaran kebencian, sangat tergantung pada niat di balik sebuah kritik, termasuk niat di balik serangan balasan terhadap kritik.
Kritik harus jelas objeknya secara spesifik, tak bisa main pukul rata, umpamanya dengan mengatakan nama seorang pejabat sebagai orang yang selalu berbuat salah. Kata "selalu" rasanya tidak tepat, sebaiknya dijelaskan kesalahan apa yang dimaksud, apakah kebijakan si pejabat, proses pelaksanaan dari kebijakan itu, atau hasil akhir dari sebuah pekerjaan.
Kemudian, jangan menyerang orangnya, apalagi dengan memakai kata sifat tertentu yang berkonotasi negatif, seperti "goblok" dan sejenisnya, atau men-judge seperti mengatakan "kafir" atau yang mirip-mirip dengan itu. Hal ini bukan kritik lagi namanya.
Lalu, tentang cara menyampaikan kritik yang lebih nyaman dan bersahabat, adalah dengan pola "positif-negatif-positif". Penjabarannya seperti berikut ini, dengan sebuah contoh imajiner. Katakanlah ada seorang Ketua RT yang dipercaya menyalurkan bantuan sembako bagi warga yang tidak mampu.
Tapi, Anda melihat dalam pembagian tersebut terjadi ketidakadilan. Ada beberapa kerabat Pak RT yang sebetulnya termasuk mampu, menerima bantuan. Di lain pihak, beberapa orang tetangga Anda yang Anda tahu pasti mereka tergolong tidak mampu, untuk makan sehari-hari saja sudah susah, yang tidak menerima bantuan.
Anda ingin menyampaikan keberatan ke Pak RT atas kondisi yang menurut Anda tidak adil itu. Bagaimana caranya? Pertama, mulai dengan menyatakan hal yang positif, berupa pujian atau dukungan atas program sang ketua RT yang cepat dalam mendistribusikan bantuan.
Kedua, baru masuk topik spesifik tentang kelemahan dalam pelaksanaannya. Anda tidak perlu mengatakan ini tidak adil (meskipun Anda sudah merasa geram, karena adil atau tidak, bisa dianggap sebagai opini pribadi). Yang Anda perlu paparkan hanyalah bukti bahwa beberapa tetangga Anda kehidupannya sangat susah dan tidak menerima bantuan.
Sebaliknya, sampaikan pula bukti adanya kerabat RT yang tergolong mampu, namun malah menerima sembako. Gaya kalimatnya tidak usah emosi, berprasangka baik saja, mungkin Pak RT tidak punya data yang akurat, atau mungkin ada ketidaksengajaan.Â
Ketiga, ditutup dengan hal positif lagi dengan menekankan bahwa Pak RT diyakini pasti punya itikad baik untuk melakukan koreksi. Jadi, untuk penyaluran bantuan tahap berikutnya, beliau akan membantu tetangga yang belum kebagian, atau berusaha mengumpulkan sumbangan, agar untuk tahap sekarang pun, si tetangga juga terbantu.
Nah, pola positif-negatif-positif tersebut, akan efektif bila didasarkan atas niat baik, niat untuk memperbaiki keadaan, bukan menghancurkan. Jika niatnya sudah tidak baik, tulisan ini menjadi tidak relevan, karena kalimatnya akan negatif semua.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H