Saya tidak bermaksud merendahkan mi instan, karena meskipun tidak sering memakannya, saya termasuk penyuka mi insatan. Tapi, suka atau tidak, banyak pakar gizi yang mengingatkan masyarakat agar tidak ketagihan melahap makanan "miliaran umat" ini (kalau ditulis sejuta umat, terlalu kecil, mengingat mi instan sudah mendunia).Â
Namun demikian, selain memang enak dan tersedia dalam berbagai varian rasa, keunggulan mi instan yang sulit diungguli makanan lain, adalah kepraktisannya. Tinggal seduh dengan air mendidih, masukkan bumbu yang sudah diselipkan dalam bungkusannya, udah deh, tinggal santap. Dijamin maknyus.
Maka, dilihat dari sisi praktisnya, bisa dipahami, mengapa berkardus-kardus mi instan menjadi makanan yang paling banyak disumbangkan masyarakat kepada para pengungsi di daerah yang tertimpa bencana alam.Â
Bukankah di area pengungsian tidak tersedia peralatan memasak yang memadai? Lagipula, mi instan harganya relatif murah sehingga dengan jumlah sumbangan yang terbatas, masih mampu membeli beberapa kardus. Gampang disimpan dan tahan lama, menjadi keuntungan lain dari mi instan.
Nah, terlepas dari nilai gizinya yang rendah, mi instan lah yang membantu mengganjal perut korban bencana agar tidak kelaparan. Selain mi instan, biskuit, makanan dalam kaleng, susu, dan daging kering, berada di urutan berikutnya sebagai makanan atau minuman yang sering disumbangkan mayarakat.
Tapi, warga Sumatera Barat (Sumbar) punya cara yang unik dalam mengirimkan sumbangan makanan. Seperti diketahui, belum lama ini terjadi bencana gempa bumi di Sulawesi Barat (Sulbar), tepatnya di Mamuju dan Majene.
Setiap terjadi bencana seperti itu, satu hal yang pantas kita syukuri, di tengah semakin berkembangnya budaya individualisme dan masih ada keterbelahan masyarakat bernuansa politik dan juga SARA, ternyata jiwa sosial masyarakat kita masih terpelihara.
Buktinya, bantuan yang mengalir bagi warga korban bencana bukan berasal dari pemerintah saja, namun tidak sedikit yang dilakukan secara swadaya oleh masyarakat. Bukan saja dari warga provinsi tetangga, tapi bisa dikatakan berasal dari berbagai penjuru tanah air.
Berbicara soal makanan, tak dapat dipungkiri, orang Minang, baik yang tinggal di Sumbar, maupun di perantauan, terkenal dengan masakannya yang lezat dan disukai secara nasional, bahkan juga mulai disukai di sejumlah negara lain.
Makanan asal Sumbar yang paling terkenal dan telah dinobatkan sebagai makanan terlezat di dunia (versi CNN Travel) adalah rendang. Sebetulnya, bagi urang awak, apapun bisa dijadikan rendang. Ada rendang singkong, rendang telur, rendang nangka, rendang kentang, dan sebagainya.
Namun, yang paling gampang ditemui di berbagai rumah makan Padang yang tersebar di seluruh Indonesia dan juga di luar negeri, adalah rendang daging sapi. Inilah yang dikumpulkan warga Sumbar dan telah diterbangkan ke Sulbar sebanyak 4.000 paket atau dengan seberat 340 kg, seperti yang diberitakan oleh langgam.id (27/1/2021).
Rendang akan menjadi makanan yang sangat bermanfaat bagi para warga terdampak bencana, karena nilai gizinya lebih tinggi. Selain itu, bagi yang terlalu serung makan mi instan, tentu akan merasa bosan, dan rendang bisa menjadi makanan yang membangkitkan selera.
Soal kepraktisan, rendang juga praktis dan tahan lama, meskipun setelah beberapa hari sebaiknya dipanaskan dulu sebelum dikonsumsi. Yang justru kurang praktis adalah membuatnya. Untuk menghasilkan rendang yang siap saji itu, dibutuhkan waktu yang lama dengan cara yang manual, karena masih sulit diproduksi memakai mesin seperti di pabrik mi instan skala besar.
Perlu diketahui, bantuan dari Sumbar itu, mengacu pada berita TVRI (Kamis, 28/1/2021), belum melibatkan Pemprov Sumbar. Padahal, panitia berharap sekiranya ada bantuan dari pemerintah daerah, sedikitnya akan terkirim 1 ton rendang.
Jadi, yang telah terkirim, murni berupa swadaya masyarakat yang dikumpulkan dari beberapa kelompok usaha, antara lain UMKM Ikaboga, Bulan Sabit Merah, Gebu Minang, UPI-Silungkang, Asese, dan Siti Nurbaya Food.
Semoga bantuan warga Sumbar tersebut menjadi penghibur hati bagi warga Sulbar yang masih tinggal di tempat penampungan sementara dan belum bisa melaksanakan aktivitas sehari-hari secara normal.Â
Inilah bukti bahwa rasa persaudaraan di negara kita belum hilang. Sulbar dan Sumbar dipisahkan jarak ribuan kilometer. Kalau naik pesawat dari Padang ke Mamuju, harus tiga kali terbang, yakni Padang-Jakarta, Jakarta-Makassar, dan Makassar-Mamuju.Â
Bayangkan kalau naik kapal laut, bisa satu minggu. Tapi jarak jauh terasa dekat di hati. Penderitaan warga daerah lain, juga dirasakan oleh warga di luar daerah bencana.Â
.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H