Mohon tunggu...
Irwan Rinaldi Sikumbang
Irwan Rinaldi Sikumbang Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

menulis untuk menikmati kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Dua Kejutan Terkait Penghinaan Melalui Parodi Lagu Kebangsaan Indonesia Raya

3 Januari 2021   16:11 Diperbarui: 3 Januari 2021   17:26 564
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ada dua kejutan dari pengungkapan kasus penghinaan melalui parodi lagu kebangsaan kita, "Indonesia Raya". Pertama, pelakunya bukan warga Malaysia, meskipun ada logo bendera Malaysia pada video parodi itu, tapi seorang Warga Negara Indonesia (WNI). Kedua, ini yang lebih mengejutkan, pelakunya masih anak-anak berusia 11 tahun.

Memang, si anak yang berinisial NJ tersebut tinggal di Sabah, Malaysia, bersama orang tuanya yang bekerja sebagai driver di sebuah perkebunan di negeri jiran itu. Untung saja PDRM (Polri-nya Malaysia) bertindak cepat dan berhasil mengamankan si pelaku.

Kalau saja pelakunya warga Malaysia, tidak tahu apa yang akan terjadi. Soalnya, hubungan Indonesia-Malaysia sering menghadapi tensi yang tinggi antar warganet di kedua negara. 

Jangan hanya mengira warganet Indonesia saja yang terbiasa memposting kalimat umpatan kasar, warganet Malaysia sama saja. Bukankah sama-sama punya akar budaya yang sama, makanya disebut sebagai negara serumpun, rumpun Melayu.

Bahkan, jika bertemu secara fisik akan lebih berbahaya, karena kedua kelompok bisa saling mengamuk. Dan ini beberapa kali terjadi bila timnas kedua negara berlaga di lapangan hijau. Perang antar suporter pun tak terhindarkan, yang tidak saja berlangsung di tribun stadion, tapi bisa berlanjut di luar stadion.

Sedikit melenceng, banyak bahasa Inggris yang diserap menjadi bahasa Indonesia dan bahasa Malaysia. Tapi kata amok dalam bahasa Inggris, justru sumbangan dari bahasa Indonesia dan juga bahasa Malaysia, yang artinya mengamuk itu tadi.

Selain soal rivalitas dalam olahraga, khususnya sepak bola dan bulutangkis, perang di media sosial biasanya sering terjadi karena warga Malaysia sering mengklaim sebagai tempat berasalnya sesuatu, seperti kesenian tradisional reog, budaya membatik, membuat masakan rendang, dan sebagainya. 

Hal tersebut membuat warganet Indonesia meradang. Kita merasa, apa yang diklaim Malaysia itu jelas-jelas asli Indonesia, atau asli suku-suku tertentu di Indonesia.

Tapi, kita jangan lupa, etnis Jawa sudah turun temurun tinggal di Johor, Semenanjung Malaysia bagian selatan. Dan orang Jawa di Malaysia justru berhasil melestarikan kesenian reog. 

Demikian pula etnis Minang, sudah beberapa abad mendominasi negara bagian Negeri Sembilan, sehingga di sana banyak berdiri bangunan rumah gadang, sebutan bagi rumah adat Minang. Kalau orang sana pintar bikin rendang, ya tidak mengherankan.

Nah, kembali soal parodi lagu kebangsaan, untung saja tidak terjadi riak-riak protes dari warganet Indonesia, meskipun ketika belum terungkap siapa pelakunya. Pemerintah pun tidak terlihat bereaksi keras, selain meminta pihak kepolisian Malaysia segara mengusut. 

Justru pihak Kedutaan Besar Malaysia yang cepat merespon dan segera memberikan pernyataan resmi yang mengecam parodi tersebut dan berjanji akan segera mengusutnya. 

Kenapa pihak Indonesia tidak terkesan emosional? Tampaknya memang sudah ada dugaan, bisa jadi pelakunya seorang WNI dan bendera Malaysia di video sebagai kamuflase. Soalnya, situasi politik sekarang lagi tidak kondusif, terutama dilihat dari pihak yang tidak menyukai Jokowi, setelah ditahannya Rizieq Shihab dan dilarangnya ormas Front Pembela Islam (FPI).

Tapi, jika dipikir-pikir, seseorang boleh saja sangat membenci Jokowi, tapi seharusnya tak akan menghina lagu kebangsaan. Makanya, setelah ketahuan kalau hal tersebut hasil "kreativitas" mereka yang masih anak-anak (pelakunya dua orang, satu lagi remaja berinisial MDF, 15 tahun, asal Cianjur, Jawa Barat), maka mungkin karena pemikirannya masih belum matang.

Bisa jadi mereka berdua berniat iseng karena mengejar viral di media sosial. Tentang apa motif sesungguhnya, kita tunggu saja hasil pemeriksaan pihak kepolisian. Memang, kejadian itu sangat disayangkan, mungkin mereka terpengaruh dengan konten media sosial dari sisi kelompok yang tidak menyukai Jokowi.

Terlepas dari itu, jika dilihat dari sisi "baik"-nya, hal ini membuktikan remaja sekarang itu kreatif, tinggal mengarahkan ke sisi positif. Jadi, kalau nanti dihukum tentu perlu dipertimbangkan sisi edukasi dan masa depan para tersangka yang masih panjang.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun