Kisah ini terjadi sekitar tahun 1995. Udah lama banget ya? Tapi, menurut saya masih tetap relevan bagi orang kantoran, karena kisahnya berkaitan dengan relasi bos dan anak buah.
Ketika itu, sebagai seorang staf di divisi akuntansi di kantor pusat sebuah BUMN, saya punya bos yang boleh dibilang perfeksionis.Â
Tidak saya saja yang berpendapat seperti itu, tapi juga banyak teman-teman saya, termasuk yang lebih senior dari saya.
Hal yang selalu membuat saya deg-degan, bila ada telepon dari sekretaris bos kepada saya, yang meminta saya menghadap si bos di ruang kerjanya. Bisa juga si sekretaris datang langsung ke meja kerja saya, karena jaraknya sekitar 20 meter saja.
Hal yang membuat saya tidak tahan, setiap menghadap bos, saya bisa diceramahi satu hingga dua jam. Awalnya ceramah tentang tugas yang harus saya laksanakan, tapi kemudian bisa berbuntut ke hal lain, seperti tentang sikap baik di kantor, tentang semangat menuntut ilmu, dan sebagainya.
Kalimat yang membakar semangat juga sering beliau lontarkan. "Jangan pernah jadi staf yang medioker", begitu kalimat beliau yang sering saya ingat. Maksudnya, saya harus punya kinerja di atas rata-rata staf yang lain.
Padahal, kalau saya pikir-pikir, si bos melakukan itu kepada saya, seperti yang pernah beliau nyatakan langsung, karena saya dinilai punya potensi untuk nantinya bisa jadi pejabat di perusahaan itu.
Di antara sekitar 25 orang staf, saya termasuk segelintir yang dapat kehormatan, kalau saya mau menganggap hal tersebut sebagai kuliah gratis.Â
Masalahnya, dengan komunikasi satu arah karena si bos ngomong terus, sungguh tidak gampang konsisten berkonsentrasi untuk selalu mendengar.
Makanya, saya sering tidak sabar, ingin cepat keluar ruang kerjanya, tapi tak berani untuk pamit. Lagipula, semakin lama di sana, semakin banyak instruksi, sehingga saya bingung yang mana yang harus didahulukan.
Bisa juga saya dipanggil untuk menyaksikan beliau membaca draft surat edaran yang saya bikin. Saat beliau mencoret beberapa kalimat, beliau sambil menjelaskan apa kalimat yang diinginkannya.Â
Anehnya, setelah beberapa kali mencoret, adakalanya beliau tanpa sadar memilih kalimat seperti yang saya tulis di draft yang tadi telah dicoretnya.
Hal lain yang melelahkan saya, si bos punya aturan tidak tertulis, bahwa staf tertentu yang sering dicarinya (saya masuk kelompok ini), tidak boleh pulang sebelum beliau pulang. Celakanya, beliau sering pulang pada pukul 9 malam. Padahal, jam kerja sebetulnya hingga pukul 5 sore.
Sebetulnya, banyak pengetahuan yang saya dapat dari si bos, tidak hanya menyangkut bidang tugas, tapi juga soal kepribadian, etika pergaulan dengan atasan, atau dengan rekan kerja. Tapi, hal itu baru saya rasakan di kemudian hari, saat karier mulai menanjak.
Di lain pihak, saya menduga akhirnya si bos juga menyadari bahwa cara beliau "menyuntikkan" semangat ke anak buahnya, serta juga gaya perfeksionisnya, mengandung kelemahan di mata anak buah.
Dugaan saya itu terbukti ketika suatu kali si bos ini membagikan secarik kertas ke semua anak buahnya, dan meminta masing-masing orang menuliskan kelemahan si bos sebanyak-banyaknya. Tak perlu menuliskan nama, sehingga si bos tidak akan tahu siapa menuliskan apa.
Namun, tetap saja saya tidak berani dengan gamblang menuliskan kelemahan si bos. Sewaktu saya bertanya ke teman-teman lain, mereka juga takut-takut, karena selama ini tidak terbiasa mengkritik si bos.
O ya, tugas utama divisi akuntansi adalah menyiapkan laporan keuangan perusahaan. Jadi, puncak kesibukan itu harusnya hanya pada setiap akhir bulan dan awal bulan saja.
Padahal, sesungguhnya saya ingin menuliskan bahwa beliau itu lembur bukan karena ada pekerjaan yang mendesak, tapi karena memang "gila kerja" atau istilah kerennya workaholic. Ya, sikap perfeksionis beliau mungkin karena workaholic, atau gara-gara workaholic, jadi seorang yang perfeksionis.Â
Seminggu setelah itu, pak bos ini dipindahkan menajdi kepala divisi bisnis. Dugaan saya, si bos mulai mendeteksi, bila ia tak disenangi anak buah di divisi bisnis, bisa-bisa target omzet bisnis dari direksi tidak tercapai. Jadi, beliau ingin mengubah gaya kepemimpinannya.
Jelaslah, daftar kelemahannya di atas akan digunakannya untuk bahan koreksi diri di tempat kerjanya yang baru. Hanya saja, dugaan saya dengan gaya yang kurang demokratis yang diterapkannya selama ini, akan sulit memancing suara yang jujur dari anak buahnya.
Seperti yang saya lakukan, saya tidak berani menulis dua kata yang mengganjal, perfeksionis dan workaholic. Bila beliau ingin pendapat yang lebih jujur, seharusnya beliau diam-diam menguping pembicaraan antar staf saat istirahat makan siang.
Jika itu sulit dilakukan, mau tak mau si bos harus mau berkonsultasi dengan psikolog yang berpengalaman menangani gaya kepemimpinan yang efektif di perkantoran.
Dengan metodologi yang digunakannya, psikolog akan bisa menyimpulkan gaya kepemimpinan seseorang dan memberikan rekomendasi agar kepemimpinannya bisa lebih efektif.
Perfeksionis itu bagus-bagus saja jika situasi dan kondisi memungkinkan. Tapi, jangan paksakan anak buah harus seperti itu juga. Ingat, anak buah punya keluarga di rumah, sehingga jika mereka tak punya waktu untuk keluarga, akan menyebabkan ketidakseimbangan dalam kehidupannya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H