Mohon tunggu...
Irwan Rinaldi Sikumbang
Irwan Rinaldi Sikumbang Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

menulis untuk menikmati kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Agar Ketagihan Belanja di Warung Tetangga

30 Desember 2020   00:01 Diperbarui: 30 Desember 2020   16:30 1012
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi toko kelontong (KOMPAS.COM/RAJA UMAR)

Berbicara tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) di negara kita, artinya membicarakan nasib mayoritas penduduk. Betapa tidak, jumlah pelaku UMKM menurut data kemenkeu.go.id, sebanyak 64,2 juta orang atau 99,99 persen dari seluruh pelaku usaha.

Artinya, yang tergolong perusahaan besar hanya 0,01 persen, meskipun karena ketimpangan kepemilikan aset, yang segelintir ini justru mendominasi. Makanya, pemberdayaan UMKM bersifat mutlak, karena itu tadi, menyangkut mayoritas penduduk. 

Bukankah kalau satu pelaku menanggung seorang istri dan dua orang anak, artinya dengan dirinya sendiri sudah 4 orang. Maka, dikalikan dengan 64,2 juta pelaku UMKM, sudah hampir sama dengan semua penduduk Indonesia.

Namun, kalau kita rinci, UMKM itu ada tiga tingkatan, yakni: mikro, kecil, dan menengah. Untuk yang menengah sebetulnya bisa dikatakan relatif mapan. Istilah pemberdayaan, sebaiknya diutamakan pada usaha kecil dan mikro. Atau bila dibatasi lagi, maka lapisan terbawahlah, yakni usaha mikro yang perlu diprioritaskan.

Jika usaha kecil masih lebih beruntung karena biasanya sudah punya tempat usaha yang terpisah dari rumah (misalnya berdagang di kios kecil), maka usaha mikro betul-betul usaha rumahan, dilakukan di rumah. Contohnya membuat jajanan tradisional atau membuka warung kecil di halaman rumah sendiri.

Dari sisi pemerintah, ada banyak jenis bantuan yang diberikan pada pelaku usaha mikro, termasuk pada masa pandemi ini berupa bantuan langsung tunai. Ada juga bantuan ikut pelatihan. Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) juga tak sedikit yang memberikan bantuan kepada usaha mikro.

Tapi, karena jumlah pelaku usahanya yang sangat banyak, bantuan di atas baru menyentuh sebagian kecil pelaku usaha, sisanya terpaksa "berdarah-darah" demi mencari sesuap nasi.

Nah, sungguh tepat bila sebagai anggota masyarakat, kita punya perhatian terhadap perkembangan usaha mikro, hitung-hitung, anggap saja sebagai bantuan "dari rakyat untuk rakyat".

Makanya, imbauan agar masyarakat berbelanja di warung tetangga, tidak menawar harga, tidak ngutang, jelas hal yang sangat bermanfaat sebagai wujud kebersamaan, menciptakan lingkungan sosial yang sehat, serta mempersempit ketimpangan.

Namun demikian, yang namanya imbauan ya hanya imbauan, tidak bisa dipaksakan. Dalam pelaksanaannya, terpulang pada kesadaran masing-masing orang. 

Memang rasa kasihan seseorang cepat tergugah melihat perjuangan gigih seorang pedagang kecil. Tapi, pedagang kecil yang kerjanya memalak pembelinya, justru bikin orang ngeri. Jelas bukan, kenapa tidak bisa dipaksa untuk berbelanja di warung kecil?

Meskipun ada orang yang berkecukupan, tapi bila memang sudah terbiasa menawar sesuatu saat berbelanja, ya tidak usah dibilang ia orang pelit. Menawar dulu, asal kemudian tetap membeli, juga sudah membantu.

Sebaliknya, ada orang yang sebetulnya punya uang pas-pasan saja. Tapi, ia tidak tega menawar kalau belanja di warung tetangga, walaupun si pedagang warung mungkin lebih bagus dari sisi penghasilan. 

Yang penting, biarkan transaksi terjadi setelah ada kesepakatan antara penjual dan pembeli. Toh, kata orang, rezeki tidak akan tertukar. Sepanjang punya perhatian kepada sesama, apalagi ditambah dengan semangat tolong menolong, itu sudah baik.

Nah, sekarang coba kita lihat dari sisi si pelaku usaha mikronya. Idealnya, tanpa diimbau pun, masyarakat memang menjadikan warung tetangga sebagai pilihan utama, karena merasa lebih untung, jadi tidak semata karena bermotif sosial.

Maka, tak bisa lain, kepada pedagang yang membuka warung (ini berlaku juga buat usaha apapun yang dilakoni pelaku UMKM), integritas harus nomor satu. Maksudnya, harus diupayakan agar orang percaya pada si pelaku usaha, tidak merasa tertipu.

Sekali orang merasa tertipu, ia akan kapok. Bahkan ketika setelah itu si pedagang tidak pernah menipu lagi, orang tetap tidak percaya. Ingat, warung-warung di perkampungan hanya mengandalkan pembeli dari warga setempat, sehinga mencari pelanggan setia jadi hal yang utama. 

Berbeda dengan warung di jalanan yang ramai karena daerah perlintasan, bisa saja mendapatkan pembeli warga kawasan lain yang kebetulan lewat di depannya. Yang seperti ini, adakalanya si pedagang tergoda untuk menaikkan harga barang di atas harga yang normal.

Agar gampang mendapatkan pelanggan setia, si pedagang harus jujur dalam timbangan dan takaran, tidak mengambil untung besar, yang penting uang berputar cepat. Barang kualitas bagus, katakan bagus, yang kualitas kurang bagus jangan disebut bagus.

Ada sebuah kisah nyata dari seorang yang membuka warung harian di halaman depan rumah tempat tinggalnya. Kebetulan lokasinya strategis, sehingga warungnya laris. 

Sayangnya, itu rumah berstatus kontrakan, dan yang punya rumah rupanya iri melihat larisnya warung tersebut. Maka, ketika kontraknya habis, harga kontrak dinaikkan gila-gilaan dengan maksud si pedagang pindah saja ke tempat lain.

Akhirnya, si pedagang memang pindah ke tempat yang kurang strategis, sekitar 2 km dari tempat semula. Lalu, sekarang gantian, yang punya rumah membuka warung dengan barang yang sama seperti sebelumnya.

Apa yang terjadi? Pelanggan si pedagang lama tetap mencari ke warung barunya yang jauh itu, sehingga di tempat baru itu, si pedagang makin sukses, karena pelanggannya dari warga sekitar ditambah pelanggannya yang dulu. Sepertinya orang-orang ketagihan berbelanja ke warung pedagang tersebut.

Adapun warung lama yang sudah ganti pemilik itu, pembelinya sepi, akhirnya warung tersebut bangkrut. Terbukalah rahasianya kenapa sepi, tak lain soal integritasnya yang jelek, ditambah lagi dengan pelayanannya yang tidak ramah. Padahal, kunci sukses si pedagang yang terusir adalah integritasnya yang tinggi.

Kesimpulannya, keluarga tangguh yang jadi pelaku usaha mikro, harus menempatkan integritas sebagai kunci nomor satu. Kalau sudah begini, pelanggan akan ketagihan tanpa perlu imbauan gerakan belanja ke warung tetangga. 

dok. jatengprov.go.id
dok. jatengprov.go.id

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun