Meskipun ada orang yang berkecukupan, tapi bila memang sudah terbiasa menawar sesuatu saat berbelanja, ya tidak usah dibilang ia orang pelit. Menawar dulu, asal kemudian tetap membeli, juga sudah membantu.
Sebaliknya, ada orang yang sebetulnya punya uang pas-pasan saja. Tapi, ia tidak tega menawar kalau belanja di warung tetangga, walaupun si pedagang warung mungkin lebih bagus dari sisi penghasilan.Â
Yang penting, biarkan transaksi terjadi setelah ada kesepakatan antara penjual dan pembeli. Toh, kata orang, rezeki tidak akan tertukar. Sepanjang punya perhatian kepada sesama, apalagi ditambah dengan semangat tolong menolong, itu sudah baik.
Nah, sekarang coba kita lihat dari sisi si pelaku usaha mikronya. Idealnya, tanpa diimbau pun, masyarakat memang menjadikan warung tetangga sebagai pilihan utama, karena merasa lebih untung, jadi tidak semata karena bermotif sosial.
Maka, tak bisa lain, kepada pedagang yang membuka warung (ini berlaku juga buat usaha apapun yang dilakoni pelaku UMKM), integritas harus nomor satu. Maksudnya, harus diupayakan agar orang percaya pada si pelaku usaha, tidak merasa tertipu.
Sekali orang merasa tertipu, ia akan kapok. Bahkan ketika setelah itu si pedagang tidak pernah menipu lagi, orang tetap tidak percaya. Ingat, warung-warung di perkampungan hanya mengandalkan pembeli dari warga setempat, sehinga mencari pelanggan setia jadi hal yang utama.Â
Berbeda dengan warung di jalanan yang ramai karena daerah perlintasan, bisa saja mendapatkan pembeli warga kawasan lain yang kebetulan lewat di depannya. Yang seperti ini, adakalanya si pedagang tergoda untuk menaikkan harga barang di atas harga yang normal.
Agar gampang mendapatkan pelanggan setia, si pedagang harus jujur dalam timbangan dan takaran, tidak mengambil untung besar, yang penting uang berputar cepat. Barang kualitas bagus, katakan bagus, yang kualitas kurang bagus jangan disebut bagus.
Ada sebuah kisah nyata dari seorang yang membuka warung harian di halaman depan rumah tempat tinggalnya. Kebetulan lokasinya strategis, sehingga warungnya laris.Â
Sayangnya, itu rumah berstatus kontrakan, dan yang punya rumah rupanya iri melihat larisnya warung tersebut. Maka, ketika kontraknya habis, harga kontrak dinaikkan gila-gilaan dengan maksud si pedagang pindah saja ke tempat lain.
Akhirnya, si pedagang memang pindah ke tempat yang kurang strategis, sekitar 2 km dari tempat semula. Lalu, sekarang gantian, yang punya rumah membuka warung dengan barang yang sama seperti sebelumnya.