Suami minta uang ke istri? Ya, kalau kenyataannya yang punya penghasilan memang istrinya, sedang si suami setelah terkena pemutusan hubungan kerja (PHK), masih menganggur, tidak masalah kan?
Tentu tidak ada masalah bila si suami tidak merasa dipandang rendah dan si istri ikhlas memberinya uang. Toh, jika si suami tahu diri dengan mengambil alih tugas sehari-hari di rumah, alias menjadi bapak rumah tangga, tetap ada kontribusinya buat keluarga.
Hanya saja, pandangan masyarakat agaknya masih "miring" terhadap bapak rumah tangga. Di lain pihak, terhadap wanita karier yang di tempatnya bekerja berhasil meraih posisi pimpinan atau menjadi pejabat, pandangan masyarakat mulai positif.
Bukankah sekarang sudah banyak wanita yang menjadi menteri, gubernur, bupati, wali kota, bahkan Presiden RI yang ke-5 adalah seorang wanita, Megawati Soekarnoputri.
Mungkin tidak banyak diekspos, diam-diam di perusahaan milik negara, beberapa di antaranya mempunyai direktur utama seorang wanita seperti di Pertamina. Di Bank Negara Indonesia (BNI), wakil direktur utamanya juga seorang wanita.
Nah, sangat mungkin bagi wanita-wanita hebat yang berhasil menduduki posisi strategis seperti  di atas, penghasilannya lebih besar dari suaminya. Tidak hanya itu, siapa suaminya pun, jarang yang dikenal publik, seolah-olah suaminya bersembunyi.
Padahal, kalau yang menjadi pejabat seorang pria, sangat lazim didampingi oleh istrinya pada acara yang bersifat seremonial di kantor. Apalagi ada wadah resmi, seperti di instansi pemerintah, istri pejabat banyak yang aktif di organisasi Dharma Wanita (DW).Â
Bagaimana kalau yang jadi pejabat itu ibu-ibu, bolehkah suaminya bergabung dalam DW atau membentuk Dharma Pria (DP)? Di sinilah masalahnya.
Kalaupun suami dari seorang ibu yang jadi pejabat dibolehkan aktif di DW, bisa dipastikan tidak akan dilakukannya. Kecuali bila itu bersifat wajib. Ingat, di zaman Orde Baru, bapak pejabat yang istrinya tidak aktif di DW, bisa kena tegur oleh atasannya. Soalnya, bila si bapak jadi bupati, maka istrinya otomastis jadi ketua DW di kabupaten tersebut, meskipun misalnya ada istri kepala dinas yang lebih mampu.
Lalu, apakah bapak-bapak yang senasib, dalam arti sama-sama punya istri pejabat, akan membentuk DP sebagai tandingan DW, atau bisa juga sebagai mitra kerja? Inipun kayaknya tidak akan terjadi. Alasannya ya itu tadi, bapak-bapak itu lebih nyaman bila bisa bersembunyi.
Biarlah istrinya yang ngetop, setiap hari masuk koran, masuk televisi, dapat penghargaan sebagai pejabat terbaik, tapi suaminya akan melihat dari kejauhan saja, dari balik layar. Maka, ide mendirikan DP, ibarat mimpi di siang bolong, apalagi kalau berniat untuk menyaingi. Asal tahu saja, DW adalah organisasi wanita terbesar di tanah air yang kehadirannya terlihat di mana-mana.
Bayangkan ribetnya, sekiranya ada suami dari seorang ibu yang menjadi pimpinan di sebuah instansi, ikut menghadiri acara peresmian yang pemukulan gong dilakukan oleh istrinya. Maksudnya, ribet secara protokoler, akan didudukkan di mana suaminya itu dan akan berperan sebagai apa?Â
Masalahnya, budaya patriarki masih berakar dengan kuat di negara kita. Bapak pejabat yang didampingi istrinya, baik-baik saja adanya dan memang sudah jelas posisinya, makanya diwadahi dalam DW. Namun, ibu pejabat yang didampingi suaminya, masih diterima dengan setengah hati dalam birokrasi kita.
Di kantor, jika nama pimpinannya Erwin Reynaldi, otomatis istrinya dipanggil dengan nama Ibu Erwin, meskipun namanya di KTP Desy Rahmawati. Atau, untuk menghargai nama lahirnya, ada juga yang memanggil "Ibu Desy Erwin".
Tapi, jika dibalik, anggaplah yang jadi pimpinan Ibu Desy Rahmawati, akan janggal bila suaminya dipanggil Bapak Desy atau Bapak Erwin Desy. Ya, itulah konsekuensi budaya patriarki yang tak menghendaki suami sebagai pendamping istri. Itulah stigma pada suami yang masih dipegang masyarakat.
Peran DW tidak hanya sekadar pendamping suaminya pada acara seremonial di kantor-kantor pemerintah, tapi juga sibuk mendistribusikan bantuan sosial, membina usaha kerajinan ibu-ibu yang masih berskala rumah tangga, memberikan penyuluhan di bidang kesehatan wanita dan anak, dan sebagainya.
Tentu tudingan miring bahwa ada sebagian istri pejabat yang sibuk berhura-hura, berbelanja barang-barang branded, atau ikut arisan kelas atas sambil bergosip ria, merupakan dinamika lain yang menjadi ekses negatif.
Nah, kira-kira apa yang ada di pikiran para suami yang punya istri jadi pejabat? Malukah mereka punya istri yang hebat? Atau justru bangga? Apakah ada rasa iri hati kepada istri sendiri? Atau mereka dengan ikhlas menjadi pendamping setia dan menikmati keberhasilan si istri yang pasti diikuti oleh berlimpahnya materi dan fasilitas?
Sayangnya, publik mungkin tidak akan tahu isi hati sesungguhnya para suami pendamping istri tersebut, karena itu tadi, mereka sering bersembunyi, entah di mana.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H