Bayangkan ribetnya, sekiranya ada suami dari seorang ibu yang menjadi pimpinan di sebuah instansi, ikut menghadiri acara peresmian yang pemukulan gong dilakukan oleh istrinya. Maksudnya, ribet secara protokoler, akan didudukkan di mana suaminya itu dan akan berperan sebagai apa?Â
Masalahnya, budaya patriarki masih berakar dengan kuat di negara kita. Bapak pejabat yang didampingi istrinya, baik-baik saja adanya dan memang sudah jelas posisinya, makanya diwadahi dalam DW. Namun, ibu pejabat yang didampingi suaminya, masih diterima dengan setengah hati dalam birokrasi kita.
Di kantor, jika nama pimpinannya Erwin Reynaldi, otomatis istrinya dipanggil dengan nama Ibu Erwin, meskipun namanya di KTP Desy Rahmawati. Atau, untuk menghargai nama lahirnya, ada juga yang memanggil "Ibu Desy Erwin".
Tapi, jika dibalik, anggaplah yang jadi pimpinan Ibu Desy Rahmawati, akan janggal bila suaminya dipanggil Bapak Desy atau Bapak Erwin Desy. Ya, itulah konsekuensi budaya patriarki yang tak menghendaki suami sebagai pendamping istri. Itulah stigma pada suami yang masih dipegang masyarakat.
Peran DW tidak hanya sekadar pendamping suaminya pada acara seremonial di kantor-kantor pemerintah, tapi juga sibuk mendistribusikan bantuan sosial, membina usaha kerajinan ibu-ibu yang masih berskala rumah tangga, memberikan penyuluhan di bidang kesehatan wanita dan anak, dan sebagainya.
Tentu tudingan miring bahwa ada sebagian istri pejabat yang sibuk berhura-hura, berbelanja barang-barang branded, atau ikut arisan kelas atas sambil bergosip ria, merupakan dinamika lain yang menjadi ekses negatif.
Nah, kira-kira apa yang ada di pikiran para suami yang punya istri jadi pejabat? Malukah mereka punya istri yang hebat? Atau justru bangga? Apakah ada rasa iri hati kepada istri sendiri? Atau mereka dengan ikhlas menjadi pendamping setia dan menikmati keberhasilan si istri yang pasti diikuti oleh berlimpahnya materi dan fasilitas?
Sayangnya, publik mungkin tidak akan tahu isi hati sesungguhnya para suami pendamping istri tersebut, karena itu tadi, mereka sering bersembunyi, entah di mana.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H