Mohon tunggu...
Irwan Rinaldi Sikumbang
Irwan Rinaldi Sikumbang Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

menulis untuk menikmati kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Cerita Pemilih Artikel Utama

Pilkada Serentak di Layar Kaca, Solo dan Medan Jadi Primadona

9 Desember 2020   14:30 Diperbarui: 10 Desember 2020   07:04 903
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pilkada 2020 (kolase Tribunnews Maker)

Pada Pilkada Serentak 9 Desember 2020 ini, saya dan keluarga tidak ikut memilih. Bukan karena saya memilih golput, tapi memang di DKI Jakarta tempat kami berdomisili, tidak melangsungkan Pilkada. Jadi, meskipun sang gubernur Anies Baswedan cukup banyak disorot sebagian masyarakat, posisinya relatif masih aman, karena periodenya belum tamat.

Tidak ikut Pilkada bukan berarti saya tidak tertarik untuk mengikuti perkembangannya. Tentu saja saya dengan gampang bisa memperoleh informasi dari media massa, baik media cetak, media daring, dan dari tayangan televisi. 

Apalagi, saya beserta keluarga hanya berdiam diri di rumah menikmati hari liburan nasional. Pemerintah berbaik hati meliburkan tanpa memandang daerah yang ada Pilkada atau tidak.

Memang, kalau menyimak siaran televisi nasional, liputan terkait Pilkada serentak tidak segencar Pileg dan Pilpres 2019 lalu. Bisa jadi di televisi lokal di daerah yang menyelenggarakan Pilkada akan lebih semarak, namun saya tidak memantaunya.

Kebetulan pula, tahun ini tidak ada pemilihan gubernur di semua provinsi di Pulau Jawa.  Padahal pemilihan gubernur di Jawa selalu berlangsung sengit dan menjadi pusat perhatian karena ada kemungkinan menjadi capres pada pilpres mendatang.

Tapi, tidak semua daerah tidak menarik secara nasional. Dari 270 daerah (9 provinsi, 37 kota dan 224 kabupaten) yang menggelar pilkada, Solo dan Medan menjadi primadona, daerah yang disorot dan diliput secara khusus dengan porsi yang lebih lama. 

Hal ini dilakukan oleh hampir semua stasiun televisi nasional, karena saya memindahkan saluran berkali-kali, dan tetap saja, Solo dan Medan mendapat perlakuan istimewa. Ya, tentu hal ini ada kaitannya dengan Presiden Joko Widodo. 

Gibran Rakabuming Raka, putra sulung presiden, menjadi calon Wali Kota Solo, sedangkan menantu presiden, Muhammad Bobby Afif Nasution, berjuang untuk menjadi orang nomor satu di kota Medan. Terlepas dari tudingan adanya dinasti politik, Gibran dan Bobby memang memenuhi persyaratan untuk maju di arena Pilkada.

Seperti yang ditayangkan salah satu stasiun televisi pada acara berita di pagi hingga siang, Rabu (9/12/2020), reporter televisi telah melakukan siaran langsung dari sekitar kediaman Gibran dan Bobby, juga melaporkan kondisi Tempat Pemungutan Suara (TPS) di sana.

Pendapat subjektif saya pribadi berdasarkan acara debat yang ditayangkan oleh salah satu stasiun televisi, Gibran tampil dengan meyakinkan ketimbang satu-satunya cawalkot pesaingnya, Bagyo Wahyono. 

Gibran versus Bagyo ibarat David lawan Goliath, mengingat Gibran yang lulusan perguruan tinggi di Singapura dan didukung banyak partai, sedangkan Bagyo yang "hanya" seorang tukang jahit, maju dari jalur independen. 

Sementara itu, Bobby, menurut saya belum begitu meyakinkan saat debat dan malah lebih banyak memberikan kesempatan bagi calon wakil wali kota yang jadi pasangannya untuk berbicara. Apakah Bobby belum menguasai permasalahan di Kota Medan?

Menjadi berat bagi Bobby, sebab yang menjadi lawannya adalah petahana Akhyar Nasution yang lebih lancar saat tampil di acara debat tersebut. Apakah memang Gibran akan menang mudah dan Bobby harus mengakui kekalahan, masih perlu kita tunggu. 

Yang jelas, tak ada yang tak mungkin dalam politik. Bobby, bila mesin partai pendukung yang dimotori PDIP plus 7 partai lain bekerja dengan maksimal, bukan tidak mungkin memukul Akhyar yang hanya didukung dua partai oposisi, PKS dan Demokrat.

Siapa pun yang menang di Medan, harus mampu menjadi pemimpin yang bersih, mengingat tiga Wali Kota Medan sebelumnya sudah menciptakan hattrick kasus korupsi. 

Tentang pelaksanaan Pilkada di Medan, juga ada hambatan karena kota terbesar di Sumatera ini baru saja dilanda banjir besar. Beberapa TPS terpaksa dipindahkan ke lokasi lain agar lebih nyaman bagi pemilih.

Jadi, pada Pilkada serentak kali ini memang banyak tantangannya. Di samping faktor cuaca yang berakibat munculnya bencana alam di sejumlah daerah, tak kalah mengkhawatirkannya adalah soal rawannya terjadi penularan Covid-19. Namun demikian, sepanjang para pemilih dengan disiplin menerapkan protokol kesehatan, mudah-mudahan apa yang dikhawatirkan tidak terjadi.

Bagi pemilih yang tidak yakin petugas di TPS mampu menyelenggarakan Pilkada yang sesuai protokol kesehatan, bisa jadi membiarkan hak pilihnya terbuang begitu saja. Jadi, Pilkada kali ini merupakan sebuah pertaruhan. Kalau natinya muncul kluster Pilkada, tak bisa mengkambinghitamkan warga yang tak disipin. 

Pada akhirnya, kesalahan terbesar harus dipikul oleh pemerintah, DPR, dan KPU yang bersikukuh tetap menggelar Pilkada, meskipun sejumlah pihak sudah menyuarakan agar ditunda.

Memang, proses suksesi kepemimpinan di daerah menjadi penting dengan catatan masyarakat telah cukup rasional dengan memilih calon yang bersih, mengingat selama ini betapa banyaknya gubernur, bupati, dan wali kota yang dicokok KPK.

Akan sangat mubazir bila nantinya selain muncul kluster Pilkada, pilihan masyarakat masih ditentukan oleh paslon mana yang berani memainkan politik uang dengan berbagai modus yang disiasati agar tidak melanggar ketentuan yang berlaku.

dok. kuasakata.com
dok. kuasakata.com

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerita Pemilih Selengkapnya
Lihat Cerita Pemilih Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun