Mohon tunggu...
Irwan Rinaldi Sikumbang
Irwan Rinaldi Sikumbang Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

menulis untuk menikmati kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

Generasi Sandwich? Biar Aku Saja, Anakku Jangan

4 Desember 2020   00:01 Diperbarui: 5 Desember 2020   07:44 1274
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
dok. hidayatullah.com

Mengurusi anak-anak dan sekaligus juga mengurusi orang tua (termasuk mertua), menjadi pengalaman saya bersama istri selama sekitar 25 tahun. Terakhir, dengan berpulangnya ibu mertua saya, empat tahun lalu, maka baik saya, maupun istri, sudah sama-sama tidak punya orang tua lagi.

Secara agama, menurut yang saya pahami, anak wajib memelihara orang tuanya yang sudah tidak bisa mencari nafkah lagi. Arti memelihara tersebut tidak saja dengan memberikan uang buat keperluan orang tua, tapi juga perhatian dengan menyediakan waktu khusus untuk bertemu langsung dan menyenangkan hati orang tua.

Tapi, bagi saya sendiri, dan saya duga juga bagi kakak-kakak dan adik-adik saya, membantu orang tua, baik secara finansial, maupun dalam bentuk perhatian, tidak memandang sebagai kewajiban yang membebani. Justru, semuanya atas dasar rasa hormat dan sayang pada kedua orang tua kami.

Kebetulan, kami lahir dari keluarga yang secara ekonomi pas-pasan saja. Tapi, dengan kegigihan yang luar biasa, tanpa lelah beliau "menanam" dan kamilah yang memetik hasilnya. Maka, tentu sangat wajar bila apa yang kami petik dibagikan pada yang menanam. Tanpa beliau, kami ini tidak ada artinya.

Saya merupakan anak ke-4 dari 7 bersaudara. Saya ingat betul, betapa "berdarah-darahnya" ayah saya untuk membiayai saya kuliah di Padang, karena hasil berjualan sepatu dan sandal di kios kecil di pasar kota Payakumbuh, Sumbar, di awal dekade 1980-an, sudah tidak memadai. Untung saja saya dapat beasiswa, sehingga bisa mengurangi beban orang tua.

Kemudian saya juga terbantu dari honor menulis di koran lokal, Haluan, dan pada tahun terakhir kuliah juga menjadi asisten dosen. Di samping itu, saya juga memberikan les privat mata kuliah akuntansi yang diikuti  beberapa kelompok mahasiswa perguruan tinggi swasta. 

Sebetulnya, ketika saya sudah tamat kuliah, ayah saya sudah tidak punya penghasilan lagi. Ayah tidak kuat menyewa kios di pasar. Padahal, masih ada 3 adik saya yang masih kuliah dan yang masih duduk di bangku SMA.

Saya teringat ketika belum lama bekerja di kantor pusat sebuah BUMN di Jakarta, di akhir dekade 1980-an. Hubungan dengan orang tua, terutama ibu saya, berjalan dengan baik melalui surat. Maklum, belum ada hape, bahkan  telpon rumah pun tak banyak yang punya di Payakumbuh, termasuk ibu saya.

Suatu kali, ibu saya bertanya, berapa saya bisa menyisihkan gaji buat dikirim ke beliau. Bukan buat kebutuhan ibu, tapi untuk biaya kuliah dan juga biaya kos di Padang, karena adik bungsu saya diterima di Fakultas Kedokteran Universitas Andalas Padang.

Akhirnya, saya kirimkan foto kopi slip gaji saya, lalu saya berikan perincian pengeluaran rutin saya, dan kalau tidak keliru saya hanya menyisihkan sebesar 10 persen dari gaji untuk dikirim ke kampung. Dan itu relatif kecil karena gaji saya juga kecil. Tapi, itu sudah cukup membantu, karena seorang kakak saya juga ikut membantu si bungsu.

Namun, seiring dengan kenaikan karier di kantor, kemampuan saya buat membantu orang tua dan adik-adik semakin membaik. Sehingga, bila dianggap saya menerapkan pola hidup yang saat ini lebih populer disebut dengan generasi sandwich,  saya tidak merasa dalam kondisi tergencet. 

Sekarang, 3 orang anak saya sudah boleh dikatakan dewasa, meskipun belum ada yang menikah, tapi tinggal si bungsu yang masih kuliah. Bagaimana kehidupan saya dan istri nantinya, tentu sering menjadi perenungan saya. Harapan saya, anak-anak saya tidak usah menerapkan pola generasi sandwhich. Bila mereka bisa mandiri, itu sudah sangat saya syukuri.

Secara finansial saya berharap nantinya tidak akan  membebani anak-anak. Tapi secara mental saya merasa tetap membutuhkan perhatian mereka. Saya tidak bisa membayangkan bila misalnya tinggal berdua saja sama istri, sementara anak-anak sudah berkeluarga tanpa sempat bertanya kabar, bahkan kalau bisa tetap berkumpul pada hari-hari tertentu.

Agar secara finansial mencukupi, saya sudah mempersiapkan semacam dana yang tersebar dalam beberapa pos. Jadi, bila membandingkan dengan kondisi ekonomi orang tua saya dulu, kondisi yang kami, para anak-anaknya, alami, alhamdulillah lebih baik. Kuncinya tentu karena gemblengan orang tua juga. 

Meskipun pendidikan kedua orang tua tidak tinggi, tapi anak-anaknya dengan segala cara (yang halal tentunya) diupayakan untuk sekolah tinggi. Masalahnya, saya sendiri tidak sekuat itu menggembleng anak-anak (dalam artian membangun karakter, bukan membiayai pendidikannya), sehingga ada kekhawatiran, apakah anak-anak saya bisa lebih baik nasibnya?

Beban generasi sandwich adalah bersifat vertikal, ke atas dan ke bawah, artinya melingkupi tiga generasi: kakek-nenek, ayah-ibu, dan para cucu. Di sinilah ada berbagai kemungkinan. 

Seperti pengalaman saya, generasi pertama kurang sukses, tapi terkompensasi dengan lebih berhasilnya generasi kedua, meskipun masih tanda tanya apakah generasi ketiga bisa mempertahankan.

Tapi, di lain pihak, masih famili saya sendiri, adik ayah saya yang pejabat, hidupnya lebih makmur, tapi anak-anaknya yang manja, sekarang hidupnya relatif susah setelah kedua orang tuanya meninggal. Parahnya, generasi ketiganya, diduga juga mengalami kesulitan, karena tidak dididik dengan baik.

Tentu juga ada kelompok yang belum berhasil memutus mata rantai kemiskinan, artinya dari generasi pertama hingga generasi ketiga, tetap pas-pasan. Yang paling baik adalah bila generasi pertama hingga ketiga selalu hidup berkecukupan, tapi ini mungkin termasuk langka. 

Kesimpulan saya, bila kita dalam posisi aktif bekerja, persiapan finansial untuk kebutuhan masa pensiun kelak, mutlak perlu, agar tidak menajadi beban anak-anak. Sungguh tidak nyaman bila ada ketergantungan, meskipun terhadap anak sendiri.

Bagi yang bekerja di instansi pemerintah atau di perusahaan yang memberikan uang pensiun bulanan bagi para pensiunannya, tentu sudah punya sumber pemasukan buat kehidupan sehari-hari di masa tua. 

Tapi, bagi yang bekerja tanpa ada fasilitas pensiun, sekarang juga bisa mendaftar sebagai peserta program pensiun yang dikelola bank atau asuransi tertentu yang diizinkan oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK).

Kuncinya terletak pada kedisiplinan menyisihkan sebagian penghasilan secara konsisten buat dikelola bank atau asuransi pengelola program pensiun. Bisa juga dengan menempatkan sejumlah dana dalam bentuk deposito, obligasi pemerintah, reksadana, saham yang berkategori blue chip yang diperdagangkan di bursa efek, emas, rumah yang disewakan, dan sebagainya.

Adapun bila kita dalam posisi seorang anak, belajarlah dengan giat agar nantinya mampu bersaing, baik dalam berburu pekerjaan, maupun berwirausaha. Bila nantinya telah bekerja, bijaklah dalam mengatur keuangan, agar bisa hidup mandiri. Sekiranya mampu, tak ada salahnya membantu orang tua sendiri tanpa merasa dibebani.

Sebagai anak atau sebagai orang tua, prinsipnya sama, sangat tergantung pada pola hidup yang sehat secara finansial. Bila fiansialnya sehat, tidak begitu relevan lagi mempersoalkan generasi sandwich.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun