Mohon tunggu...
Irwan Rinaldi Sikumbang
Irwan Rinaldi Sikumbang Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

menulis untuk menikmati kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Worklife Pilihan

Kaum Difabel Bisa Diberdayakan, Belajarlah dari Pepatah Minang

2 Desember 2020   13:05 Diperbarui: 2 Desember 2020   14:13 332
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Seorang dokter gigi di Sumbar pernah mengalami perlakuan diskriminatif dengan cara yang boleh dikatakan "kasar". Awalnya, drg. Romi, seorang wanita yang dalam beraktivitas sehari-hari menggunakan kursi roda, telah dinyatakan lulus dalam seleksi Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS), bahkan dengan predikat terbaik di antara peserta lainnya (abc.net.au, 23/7/2019).

Namun demikian, nasib Romi berubah drastis, setelah kelulusannya dibatalkan secara sepihak oleh pemerintah Kabupaten Solok Selatan, Sumbar, pada 18 Maret 2019. Penempatan dokter gigi tersebut memang di wilayah Solok Selatan, tepatnya di Puskesmas Talunan. 

Alasan pembatalannya, menurut versi bupati setempat, karena pengunduran diri dan atau tidak memenuhi persyaratan tertentu, sehingga berkas yang sudah dilengkapi tidak dikirimkan ke Badan Kepegawaian Negara dan instansi lain yang berwenang mengeluarkan nomor induk kepegawaian.

Setelah melalui perjuangan yang panjang dan melelahkan, melibatkan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Padang, juga dengan aksi unjuk rasa sejumlah ormas, termasuk Persatuan Penyandang Disabilitas Indonesia (PPDI) Kota Padang, akhirnya drg. Romi kembali mendapatkan haknya.

Tapi, pemulihan hak tersebut terjadi setelah masalah drg. Romi diangkat ke level nasional, di mana yang bersangkutan mendatangi DPR-RI, bertemu Mendagri Tjahjo Kumolo, dan menyambangi Kepala Kantor Staf Presiden (KSP) Moeldoko.

Bupati Solok Selatan kemudian mengakui bahwa ia salah menafsirkan "sehat jasmani dan rohani" sebagai salah satu syarat menjadi CPNS. Soalnya, dalam tes kesehatan, drg. Romi telah dinyatakan lulus saat seleksi CPNS dan buktinya sebelum jadi CPNS pun ia bisa melakukan tugas sebagai dokter gigi.

Sebagai orang Minang, pak bupati tersebut mungkin lupa dengan pepatah Minang sendiri yang memberikan peran pada setiap orang, meskipun bagi mereka yang berkategori difabel. Bunyi pepatah dimaksud, antara lain: "Nan buto paambuih lasuang, nan pakak palapeh badia, nan lumpuah paunyi rumah." 

Secara bebas, artinya adalah, orang yang buta ditugaskan menjadi peniup lesung (alat penumbuk padi). Yang tuli untuk melepaskan senjata api. Yang lumpuh untuk tinggal menjaga rumah. Artinya, setiap orang punya peran masing-masing sesuai kondisinya. Bahkan, apa yang di mata orang lain sebagai kekurangan, justru menjadi kelebihan karena bisa diberdayakan.

Mungkin tugas yang disebutkan pepatah tersebut sudah tidak begitu relevan lagi dalam konteks masa kini. Mereka yang difabel tidak harus tinggal di rumah. Buktinya ada yang jadi dokter gigi seperti kisah drg. Romi di atas. Namun, "jiwa" dari pepatah itu, pantas dijadikan pelajaran.

Istilah difabel sengaja dimasyarakatkan tentu bukan tanpa tujuan. Difabel berasal dari different ability yang artinya punya kemampuan yang berbeda, bukan tidak mampu, bukan tidak berguna, dan bukan jadi beban yang mampu.

Dulu, dalam bahasa Indonesia, disebut secara vulgar seperti pada pepatah Minang di atas, dengan menyebutnya buta, tuli, dan sebagainya. Kemudian diperhalus dengan istilah tunanetra, tunarungu, dan "tuna-tuna" lainnya. Namun, istilah tuna masih diskriminatif karena artinya rusak atau cacat. 

Maka, masyarakat jangan hanya sekadar mengganti isitilah, tapi yang terpenting adalah perubahan pandangan dan perilaku terhadap kaum difabel. Jangan beda-bedakan mereka. Beri kesempatan seluas-luasnya, tentu antara lain dengan menyediakan fasilitas yang diperlukan.  Umpamanya, di atas kendaraan umum ada kursi yang khusus bagi kaum difabel, demikian pula di toilet umum, dan sebagainya.

Adanya kewajiban perusahaan untuk mengalokasikan sejumlah pekerjanya yang berasal dari kaum difabel, perlu diberi apresiasi. Di beberapa perusahaan milik negara, sudah banyak yang menerapkannya, meskipun baru sebatas pekerja kontrak untuk tugas-tugas yang relatif ringan, seperti petugas administrasi dan dokumentasi. Tapi ini sudah sebuah langkah maju.

Nantinya, bukan tidak mungkin seorang bupati, gubernur, menteri, atau jabatan publik lainnya, akan dipercayakan kepada difabel yang kompeten. Bukankah Presiden ke-4 RI, Gus Dur, yang tergolong difabel karena punya keterbatasan penglihatan, telah menunjukkan kemampuannya, bahkan sangat dihargai oleh para pemimpin di negara-negara maju.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun