Jadi, sosialisasi dan edukasi bagi paslon beserta tim pendukungnya oleh pihak terkait, perlu ditingkatkan lagi, karena harus diakui, budaya mencatat penerimaan dan pengeluaran uang bagi masyarakat kita, memang masih rendah.
Namun demikian, perlu diingat bahwa paslon bukanlah orang awam. Berani mencalonkan diri berarti merasa mampu jadi pemimpin. Maka, paslon yang tidak paham atau tidak peduli soal aliran dana masuk dan dana keluar untuk kepentingan kampanyenya sendiri, diragukan kapasitasnya untuk jadi pemimpin yang baik. Bukankah seharusnya mereka bisa belajar secara cepat?
Apalagi bila sinyalemen Kompas betul adanya, bahwa ada paslon yang tidak transparan dalam laporan dana kampanye, sengaja menutup-nutupi, dan membuat laporan bohong, maka tak pelak lagi, ini merupakan indikasi awal tentang integritasnya yang rendah.
Bila saja masyarakat sudah semakin matang dalam menentukan pilihan dalam pilkada, harusnya parameter utama yang dipakai sebagai penentu bukanlah gelar akademis yang panjang, bukan kepintaran mengumbar janji manis, bukan pula yang royal membagi sembako.
Justru integritas paslon yang sebaiknya betul-betul dicermati. Paslon yang tidak jujur, tidak patuh terhadap ketentuan yang berlaku, alamat nantinya akan gampang berperilaku korup. Akhirnya yang akan rugi, masyarakat banyak juga. Camkanlah, pilihan masyarakat akan menentukan masa depan daerah masing-masing.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI