Mohon tunggu...
Irwan Rinaldi Sikumbang
Irwan Rinaldi Sikumbang Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

menulis untuk menikmati kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Cerita Pemilih Pilihan

Laporan Dana Kampanye, Langkah Awal Mendeteksi Integritas Paslon

16 November 2020   14:05 Diperbarui: 16 November 2020   16:41 210
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tanpa perlu mencari referensi yang bersifat kuantitatif pun, sudah menjadi rahasia umum bahwa dana yang dikeluarkan oleh pasangan calon (paslon) untuk bertarung di pilkada, baik di tingkat kabupaten atau kota, apalagi di tingkat provinsi, amatlah besar.

Di lain pihak, banyak paslon yang tak akan cukup kuat bila membiayai sendiri keperluannya selama berkampanye. Makanya, sumbangan dari para pendukung, termasuk sponsor secara tersamar oleh para makelar politik, tak terelakkan lagi.

Lalu, sudah jelas pula bahwa gaji sebagai bupati, wali kota, atau bahkan gubernur, meskipun cukup memadai, tapi tidak bisa dikatakan akan mendatangkan kekayaan berlimpah.

Jadi, bagaimana cara paslon terpilih membalas budi para sponsornya, diduga dengan banyak mengucurkan proyek atau membuat kebijakan yang akan menguntungkan para sponsor.

Untuk mengatasi persoalan di atas, sebetulnya sudah diatur tata cara pemberian sumbangan dari individu atau dari perusahaan bagi paslon. Masalahnya, pelaporan yang wajib atas penerimaan dan pengeluaran dana kampanye tersebut masih tidak tertib.

Dalam beberapa hari terakhir ini, harian Kompas paling getol menyorot laporan dana kampenye. Dalam Tajuk Rencananya pada edisi Senin (16/11/2020), Kompas menuliskan hal yang mengejutkan.

Dari 739 paslon yang akan mengikuti pemilihan kepala daerah pada Desember ini, 31 paslon menyampaikan laporan awal dana kampanye nol rupiah. Berikutnya, ada 35 paslon yang menyampaikan laporan penerimaan sumbangan dana kampanye nol rupiah.

Padahal, seharusnya laporan penerimaan sumbangan tersebut memuat sumbangan yang diterima dari paslon, partai politik atau gabungan partai politik, sumbangan pihak lain perseorangan, sumbangan pihak lain kelompok, dan sumbangan pihak lain badan hukum swasta.

Maka, menurut Kompas, terhadap paslon yang melaporkan nol rupiah tersebut terdapat dua kemungkinan. Pertama, mereka betul-betul tidak mengalokasikan, menerima sumbangan, atau menggunakan dana kampanye mereka. Kedua, mereka tidak melaporkannya secara transparan, menutup-nutupi, bahkan mungkin membuat laporan bohong.

Gampang menebak, di antara dua kemungkinan itu, kemungkinan kedua yang pantas ditengarai terjadi. Tapi, jangan lupa, sebetulnya ada juga kemungkinan  ketiga, yakni ketidaktahuan atau ketidakpedulian paslon akan kewajiban laporan yang memenuhi ketentuan.

Soalnya, ada kebiasaan masyarakat, kalau menerima uang, tak perlu menyimpan bukti penerimaan. Dalam serah terima uang selama ini yang lazim dibuktikan dengan selembar kuitansi, hanya sekadar ditandatangani oleh penerima uang, kemudian disimpan oleh si pemberi uang, sebagai bukti pembayaran. Sementara si penerima adakalanya tidak menyimpan dokumennya.

Jadi, sosialisasi dan edukasi bagi paslon beserta tim pendukungnya oleh pihak terkait, perlu ditingkatkan lagi, karena harus diakui, budaya mencatat penerimaan dan pengeluaran uang bagi masyarakat kita, memang masih rendah.

Namun demikian, perlu diingat bahwa paslon bukanlah orang awam. Berani mencalonkan diri berarti merasa mampu jadi pemimpin. Maka, paslon yang tidak paham atau tidak peduli soal aliran dana masuk dan dana keluar untuk kepentingan kampanyenya sendiri, diragukan kapasitasnya untuk jadi pemimpin yang baik. Bukankah seharusnya mereka bisa belajar secara cepat?

Apalagi bila sinyalemen Kompas betul adanya, bahwa ada paslon yang tidak transparan dalam laporan dana kampanye, sengaja menutup-nutupi, dan membuat laporan bohong, maka tak pelak lagi, ini merupakan indikasi awal tentang integritasnya yang rendah.

Bila saja masyarakat sudah semakin matang dalam menentukan pilihan dalam pilkada, harusnya parameter utama yang dipakai sebagai penentu bukanlah gelar akademis yang panjang, bukan kepintaran mengumbar janji manis, bukan pula yang royal membagi sembako.

Justru integritas paslon yang sebaiknya betul-betul dicermati. Paslon yang tidak jujur, tidak patuh terhadap ketentuan yang berlaku, alamat nantinya akan gampang berperilaku korup. Akhirnya yang akan rugi, masyarakat banyak juga. Camkanlah, pilihan masyarakat akan menentukan masa depan daerah masing-masing.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerita Pemilih Selengkapnya
Lihat Cerita Pemilih Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun