Gampang ditebak, seperti yang telah disinggung di awal tulisan ini, anjloknya kinerja perbankan karena tertunggaknya pengembalian kredit dari para nasabahnya. Apalagi Otoritas Jasa Keuangan (OJK) telah mengeluarkan kebijakan bahwa nasabah yang memenuhi kriteria yang dipersyaratkan, khususnya pelaku UMKM, diperkenankan mendapat relaksasi, yakni penundaan mencicil angsuran kredit ke bank tanpa terkena denda.
Dampak kredit macet tidak hanya menurunkan laba bersih bank, tapi juga membuat kemampuan bank untuk mengucurkan kredit baru menjadi tertahan. Dalam masa normal, bank dengan cepat memutarkan lagi pengembalian kredit yang diterimanya menjadi kredit baru kepada nasabah yang dinilai punya prospek usaha yang menjanjikan.
Sekarang, bukan saja bank kesulitan mencari calon nasabah yang masih punya prospek yang baik, tapi juga dana yang mau dikucurkan itu menjadi masalah, karena tertahan oleh peminjam sebelumnya. Makanya, beberapa bank mendapat suntikan dana dari pemerintah, dengan maksud disalurkan sebagai kredit yang menjadi bagian dari program stimulus perekonomian nasional.
Kembali kepada kinerja perbankan, sebetulnya bila dilihat secara lebih jernih, kondisi sekarang masih jauh lebih baik ketimbang saat krisis moneter 1998 yang lalu. Ketika itu banyak bank yang bangkrut dan terpaksa dilikuidasi. Sekarang, bank masih kokoh berdiri, masih menuai keuntungan, hanya saja jumlah keuntungan yang diraup tidak sebesar tahun-tahun sebelumnya.
Itupun oleh pihak bank, diduga sebagai bagian dari strategi komunikasi, disebutkan bahwa penurunan kinerja tersebut terjadi karena bank memperbesar cadangannya. Artinya, kinerja bank seolah-olah sengaja dibuat rendah, karena sebagian disimpan sebagai celengan.
Begini, secara akuntansi, bank diwajibkan membentuk apa yang disebut dengan Cadangan Kerugian Penurunan Nilai (CKPN). Jika bank menduga kondisi usaha para nasabahnya akan memburuk sehingga kredit macet akan meningkat, nantinya terhadap peminjam yang memenuhi syarat bisa dihapusbukuan, dengan mengurangi CKPN yang telah dibentuk sebelumnya.
Ingat, dihapusbukukan bukan berarti dihapus tagih. Bank tetap akan mengejar si nasabah yang menunggak, bahkan kalau tidak ada jalan lain, aset si nasabah yang jadi agunan akan disita pihak bank. Nantinya, bila kredit macet telah dibayarkan oleh si nasabah, sepenuhnya akan dicatat sebagai keuntungan bank. Makanya CKPN dianggap sebagai celengan, mengurangi laba saat ini demi keuntungan di masa nanti.
Masalahnya, tidak semua bank mampu membentuk CKPN dalam jumlah yang memadai, karena secara teknis akuntansi, pembentukan itu sama saja dengan menambah beban. Ini juga yang antara lain membuat bank tidak segera menurunkan suku bunga pinjaman ketika suku bunga simpanan sudah berangsur turun seiring dengan turunnya suku bunga acuan Bank Indonesia (BI).Â
Soalnya, bank harus menghitung dengan cermat berbagai beban yang dipikulnya, termasuk untuk membentuk tambahan CKPN di saat pandemi sekarang ini. Biasanya bank perlu waktu beberapa bulan untuk melakukan penyesuaian terhadap suku bunga kredit, meskipun suku bunga deposito langsung diturunkannya seiring penurunan suku bunga acuan BI.
Nah, kenapa pihak manajemen bank dalam press release atau saat jumpa pers untuk mempublikasikan kinerja triwulanannya, sengaja menonjolkan pembentukan CKPN? Â Ya, ini merupakan strategi agar bank tidak dicitrakan lagi mengalami kesulitan yang parah.Â
Soalnya, bila sebuah bank diisukan lagi "goyang" yang berpotensi jadi ambruk, bisa-bisa kehilangan kepercayaan dari nasabah yang menyimpan dana di bank tersebut. Bila si penyimpan ramai-ramai menarik kembali uangnya (disebut juga sebagai tindakan rush), maka akibatnya bank betul-betul pingsan. Jadi, kejatuhan bank bukan karena kinerja jelek, tapi karena isu liar yang dipercayai secara membabi buta oleh masyarakat.