Mohon tunggu...
Irwan Rinaldi Sikumbang
Irwan Rinaldi Sikumbang Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

menulis untuk menikmati kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Miras Oplosan yang Mematikan, Ada yang Pakai Jamur Kotoran Sapi

13 November 2020   18:00 Diperbarui: 13 November 2020   18:21 232
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pemusnahan miras oplosan (foto Antara, dimuat okezone.com)

Minuman beralkohol diwacanakan akan dilarang dengan bergulirnya pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) terkait hal tersebut di DPR. Tentu tujuannya demi menyelematkan masyarakat, khususnya generasi muda, jangan sampai masa depannya hancur karena kecanduan minuman yang sering juga disebut minuman keras (miras) itu.

Meskipun demikian, RUU tersebut diharapkan masih memberi tempat bagi minuman tertentu yang telah menjadi tradisi di beberapa tempat sejak zaman dulu, yang apabila diminum dalam jumlah sedikit, malah terasa menyehatkan.

Bahkan, di beberapa desa di Sumbar, yang masyarakatnya terkenal religius, juga ada minuman tradisional yang bila dimimum melebihi batas tertentu, akan memabukkan. Minuman tersebut disebut aia niro yang terbuat dari fermentasi tandan pohon aren.

Terhadap minuman tradisional tersebut, yang lebih tepat adalah mengendalikan, bukan melarang, seperti halnya penjualan minuman beralkohol yang dibatasi penjualannya di tempat-tempat khusus. Di Bali sebagai destinasi utama pariwisata Indonesia yang didatangi jutaan wisatawan asing setiap tahunnya (sebelum pandemi Covid-19),  kebutuhan atas minuman beralkohol tentu lebih tinggi.

Sehingga akhirnya, penyusunan  RUU tentang minuman beralkohol tentu tidak gampang dan sudah sekian lama masih terkatung-katung, makanya sekarang mau dikebut. Hal ini juga berkaitan dengan pemasukan bagi negara dari cukai dengan nilainya yang relatif besar.

Terlepas dari minuman tradisonal di atas, sebetulnya yang sangat mengkhawatirkan dan telah memakan begitu banyak korban nyawa, adalah peredaran miras oplosan. Dengan harga relatif murah, banyak para remaja dan anak muda yang mengkonsumsinya, tanpa menyadari bahwa mereka telah diintai maut.

Harga murah tersebut sangat jauh di bawah harga resmi minuman beralkohol  yang terkena bea cukai, baik produk dalam negeri, apalagi produk impor. Pelampiasan dari berbagai masalah kehidupan khas kelas bawah, seolah terpenuhi dari sensasi menenggak miras oplosan.

Okezone.com (13/4/2018) menulis bahwa ada 5 jenis miras oplosan yang mematikan, yakni mencampur alkohol dengan soda, mencampur alkohol dengan minuman berenergi, mencampur alkohol dengan obat anti nyamuk, mencampur alkohol dengan jamur kotoran sapi, dan mencampur alkohol dengan air kelapa.

Jelaslah, para pengoplos memang boleh dikatakan kreatif dalam arti negatif. Seperti oplosan dengan obat anti nyamuk, konon karena efek wangi dari lotion anti nyamuk, dan harganya yang murah, menarik minat mereka yang lemah iman dan ingin fly. Padahal, setelah kenikmatan semu itu, beberapa organ tubuh tidak lagi berfungsi dan bisa berujung pada kematian.

Demikian pula oplosan dengan jamur kotoran sapi, ini lebih aneh lagi, karena prosesnya cukup panjang. Kotoran sapi digoreng terlebih dahulu, kemudian ditumbuk dan baru dicampur minuman. Efeknya, konon lebih nendang. 

Tribunnews.com (2/1/2016) memberitakan akibat fatal dari miras oplosan yang dicampur dengan jamur kotoran sapi yang terjadi di Kabupaten Semarang. Ketika itu ada pesta miras oplosan yang memakan korban dua orang tewas dan tiga orang dalam kondisi sekarat di rumah sakit. Menurut warga sekitar, diduga para korban habis menenggak miras dari campuran jamur kotoran sapi.

Dalam kasus lain, kalaupun mereka yang menenggak miras oplosan tidak jadi korban, malah berpotensi menjadi pelaku tindak pidana. Seseorang jadi berani menodong, memperkosa, atau melakukan tindak kejahatan lainnya karena pengaruh miras.

Miras oplosan perlu mendapat perhatian khusus, karena ini cerminan dari masalah sosial masyarakat marjinal. Persoalannya berbeda dengan minuman beralkohol bagi kalangan elit yang sudah punya etiket tertentu. Demikian pula minuman tradisional yang juga punya tata cara yang sama-sama dipahami oleh penggunanya.

Adapun miras oplosan, penggunanya bisa dikatakan miskin harta, miskin ilmu, dan juga miskin pemahaman agama. Jadi, tanpa ada UU pun, miras oplosan sebaiknya tidak diberi tempat. Tapi itu saja tidak cukup, kesejahteraan kelompok marjinal perlu diperbaiki, termasuk pula aksesnya terhadap pendidikan umum serta memahami dan mengamalkan ajaran agama.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun