Sudah lama saya dan istri sepakat tidak lagi menggunakan jasa asisten rumah tangga (ART), karena berbagai pengalaman yang kurang menyenangkan sebelumnya. Lagipula, karena anak-anak sudah besar, sudah selayaknya mereka tidak lagi dilayani ART, biar lebih mandiri.
Ketika memutuskan tidak lagi punya ART itu, anak bungsu saya, satu-satunya putri dari tiga bersaudara, sudah duduk di kelas 3 SMP. Sekarang si bungsu sudah memasuki semester 7, kuliah di sebuah perguruan tinggi negeri di Jawa Barat.Â
Hanya saja, sejak pandemi Covid-19, perkuliahan menggunakan sistem online, dan si bungsu tidak perlu tinggal di tempat kos (meskipun tetap membayar kos). Â Jadi, sekarang si bungsu sehari-hari bersama kami di Jakarta, sehingga saya bisa mengetahui perkembangan karakternya dengan lebih baik.
Dulu, saat pertama kali melepas si bungsu tinggal di tempat kosnya di kawasan Jatinangor, ada kecemasan saya, akan mampukah ia mengurus dirinya sendiri. Saya sering membayangkan ia hanya sibuk menonton film drama Korea sambil ngemil, lalu berteriak ketakutan ketika melihat kecoa masuk kamar.
Waktu SMA, ia pernah kena jambret, hapenya diambil penjahat saat menunggu bus di halte. Tapi ia tidak trauma dan tetap barani pulang sendiri dari acara di luar rumah, meskipun sudah jam 10 malam. Saya malah yang cemas, apalagi kalau saya mengirim pesan singkat, tidak dibaca atau tidak dibalasnya.
Tapi, semangatnya untuk berhasil menembus perguruan tinggi negeri memang besar. Ia tak lelah belajar dari sore hingga malam di sebuah bimbel di kawasan Kalimalang, kira-kira 7-8 km dari rumah saya.
Akhirnya saya menyadari bahwa tinggal terpisah dari orang tua, malah berdampak positif bagi si bungsu dalam membangun karakternya. Kecemasan saya ternyata berlebihan. Buktinya, ia hepi-hepi saja selama enam semester tinggal sendiri di kamar kosnya.Â
Prestasi akademisnya pun tergolong bagus. Ia tak mengeluh walaupun sering pulang malam naik ojek online dari kampus ke kosannya. Kuliah yang bersifat praktik lapangan pun juga bisa dilaluinya dengan baik.
Sebuah perubahan signifikan yang saya amati, si bungsu sekarang menjadi lebih kritis terhadap kata-kata saya. Setiap nasehat saya tak langsung diterimanya, tapi harus lewat adu argumen dulu yang kadang-kadang saya yang kalah.
Seperti kemarin, saat ibunya lagi tidak di rumah, saya meminta si bungsu untuk memsak nasi, mencuci piring, dan menjemur pakaian yang telah selesai dicuci dengan mesin cuci. Si bungsu dengan nada agak ketus menyemprot saya.Â
Pertama, ia tak suka disuruh-suruh, ia akan mengerjakan tanpa diminta, tapi kapan ia melakukannya terserah dia. Kedua, ia tak mau saya terperangkap dengan pemikiran bahwa tugas yang berkaitan dengan dapur atau sumur, menjadi bagian anak perempuan.Â
Menurut si bungsu, anak lelaki pun harus berperan juga mengerjakan apa yang tadi saya minta. Kebetulan si sulung juga lagi di rumah. Akhirnya si sulung yang memasak nasi dan mencuci piring, sambil si bungsu menjemur pakaian. Untungnya, si sulung patuh saja pada si bungsu.
O ya, si bungsu ini memang kalau berbicara pakai gaya to the point saja kepada saya. Padahal, berutur kata yang ramah, menurut saya perlu agar sukses dalam pergaulan sosial. Untungnya ia hanya ketus ke saya saja, tapi kepada teman-temannya lumayan ramah.
Saya mengenang masa lalu, sebetulnya saya sudah merasa cukup punya dua anak lelaki. Tapi ketika empat tahun setelah anak kedua saya lahir, istri saya kembali hamil, dan ternyata yang lahir anak perempuan, lengkap sudah kebahagiaan saya dan istri.
Si bungsu ini tidak manja, padahal ada anggapan anak bungsu lebih dimanja, apalagi ia satu-satunya cewek. Tapi memang ia punya dua orang "pelindung" karena kedua kakaknya mau membantu atau memberikan bimbingan ketika si bungsu mengalami kesulitan.
Satu hal yang saya kaget dan saya apresiasi, ia sekarang menjadi pembaca novel yang rakus, termasuk novel-novel berbahasa Inggris. Saya perhatikan, tema-temanya banyak bersentuhan dengan emansipasi wanita. Novelis Indonesia yang disukainya Laksmi Pamuntjak dan Leila S Chudori.
Jadi, waktunya tidak lagi banyak tersita dengan drama Korea seperi saat masih kelas 3 SMA. Bagi saya ini menarik, mengingat ia menyenangi buku cetak, bukan buku digital. Tak heran, pengantar paket sering datang ke rumah mengantarkan buku pesanan si bungsu.Â
Tampaknya hobi membaca saya sudah turun ke si bungsu, padahal dua orang kakaknya tidak begitu. Saya kira, sikapnya yang semakin kritis, antara lain karena terpengaruh bacaannya itu. Tapi, hobi saya menulis, belum ada yang mengikuti.
Sewaktu masih di SMA, saya pernah menyarankan agar si bungsu pakai hijab, melihat di sekolahnya banyak siswi yang berhijab. Tapi jawabannya tegas, ia baru berhijab atas dasar keinginannya sendiri, bukan karena diminta orang lain, juga bukan karena teman-temannya.Â
Bahkan ia mengungkit bahwa ibunya sendiri baru berhijab di usia 40 tahun, karena ia mengingat dengan baik, saat ia masih kecil, ibunya masih belum berhijab. Betul, akhirnya tanpa diminta, ia berhijab sendiri sejak berstatus mahasiswi.
Saya memahami, tantangan ke depan tidaklah mudah dalam perkembangan teknologi yang demikian pesat. Semoga saja anak-anak saya, termasuk si bungsu, mampu menjalani kehidupannya dengan baik, tanpa melupakan bekal agama.Â
Oke, saya mengerti, tak satupun anak-anak saya yang tertarik menjadi orang kantoran seperti saya. Saya memang tidak akan mengarahkan apa profesi yang akan dijalaninya. Punya usaha sendiri meskipun kecil-kecilan, menjadi passion mereka, dan saya bersama istri sepenuhnya mendukung.
Saya percaya masing-masing anak punya potensi, dan yakin rezeki dari "atas" tidak akan tertukar. Saya hanya menginginkan agar mereka menjadi anak-anak yang bermental kuat, pantang menyerah, gesit dan kreatif dalam mencari terobosan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H