Secara umum, tentu kita sudah tahu bahwa kota terluas di negara kita, ya pastilah Jakarta. Karena kedudukannya sebagai ibu kota negara (meskipun nantinya akan dipindahkan), kota Jakarta menjadi satu-satunya kota yang berstatus sebagai provinsi.
Provinsi yang disebut dengan DKI (Daerah Khusus Ibukota) Jakarta ini terdiri dari lima wilayah kota dan satu kabupaten administratif, yakni Jakarta Pusat, Jakarta Utara, Jakarta Barat, Jakarta Timur, Jakarta Selatan, dan Kabupaten Kepulauan Seribu.
Jika mengacu pada data resmi, luas Jakarta adalah 661,5 km2 (kilometer persegi). Mengingat kota Jakarta pada peta terlihat mirip bujur sangkar, dengan luas seperti itu, kira-kira panjang dan lebarnya masing-masing sekitar 25 km.
Namun demikian, mungkin sebagian kita belum tahu, ternyata bukan Jakarta yang terluas di Indonesia. Jadi, kalau selama ini Jakarta disebut sebagai kota terbesar, itu dalam arti dilihat dari jumlah penduduknya, yang kemudian diikuti oleh Surabaya, Medan, Bandung, dan Makassar.
Tapi, berdasarkan data tahun 2020, setelah pesatnya pertumbuhan penduduk di wilayah penyangga Jakarta, maka kota terbanyak penduduknya setelah Jakarta adalah Bekasi, Surabaya, Bandung, dan Medan (sumber: insanpelajar.com).
Menarik, tak satu pun dari lima kota di atas yang terletak di Pulau Jawa. Adapun kalau yang diperbandingkan adalah kota-kota khusus di Pulau Jawa, dengan catatan Jakarta terbagi atas 5 wilayah kota, maka kota terluas adalah Semarang (394,57 km2). Namun, secara nasional, Semarang berada di peringkat 19.
Artinya, kota-kota di Jawa punya masalah besar dengan ketersediaan lahan, padahal di lain pihak penduduknya sangat banyak. Sebaliknya, di luar Jawa, dengan lahan yang luas, sangat mempermudah perluasan wilayah kota.Â
Makanya, kenapa Kota Tidore Kepualauan menjadi begitu luas, karena telah "mengakuisisi" sebagian daratan Pulau Halmahera, termasuk kawasan Sofifi, yang merupakan ibu kota baru Provinsi Maluku Utara, menggantikan Ternate.
Apakah hal itu aneh? Ya, aneh atau tidak, tergantung dari sisi mana melihatnya. Pengertian umum bahwa yang namanya kota pasti dipenuhi gedung atau bangunan lainnya. Banyaknya perkantoran, toko-toko, komplek perumahan, pasar, beragam sekolah, dan masjid agung atau tempat peribadatan lainnya, menjadi ciri sebuah kota.
Bahkan, bila kotanya tergolong besar, akan dipenuhi pula oleh pusat perbelanjaan, mal, hotel, apartemen, perguruan tinggi, dan kantor berbagai perusahaan. Nah, jelaslah, dengan mengacu pada ciri-ciri sebuah kota tersebut, tak ada tandingan Jakarta di negara kita.Â
Sebaliknya, lawan kota adalah desa. Ciri-cirinya adalah tidak begitu banyak rumah atau gedung kantor, dan lebih banyak area pertanian, seperti sawah dan kebun. Hewan ternak juga banyak terdapat di desa. Kalau pun ada pasar desa, biasanya beroperasi seminggu sekali, pada hari tertentu.
Tapi, dalam pengertian wilayah pemerintahan, bisa saja daerah yang dominan area pertaniannya, bahkan juga hutan, dimasukkan dalam sebuah kota. Contohnya, ya seperti di Palangka Raya itu, sebagian besar wilayahnya berupa hutan.Â
Bukan hutan kota yang sengaja dibangun untuk alasan penghijauan, tapi memang sudah dari dulunya berupa hutan. Adapun bagian dari kota Palangka Raya yang betul-betul berwajah kota, hanya di sekitar pusat kota, mungkin di sekitar radius 10 km saja.Â
Lalu, dalam tata pemerintahan daerah, yang dulunya disebut "pemerintah daerah tingkat dua", ada yang disebut dengan pemerintah kabupaten (pemkab), dan ada yang disebut dengan pemerintah kota (pemkot, dulu disebut dengan kotamadya).
Nah, sebetulnya agak rancu juga, kenapa misalnya Tidore Kepulauan atau Subulussalam tidak disebut kabupaten, karena toh sebagian besar wilayahnya masih berupa area pertanian, mirip di desa-desa pada umumnya, kecuali di pusat kota yang relatif kecil.
Namun begitulah yang tercatat secara resmi. Tentu pada waktu proses pengusulan hingga terbitnya persetujuan yang melibatkan Kementerian Dalam Negeri dan DPR RI, ada pertimbangan tersendiri, kenapa daerah otonom yang sebagian besar wilayahnya masih bertipikal desa, tapi disebut sebagai kota.
Tapi, harus diakui, seiring dengan berkurangnya lahan pertanian, dan juga berkurangnya luas hutan, kecenderungannya, lahan untuk bangunan akan meningkat pesat. Lama kelamaan, desa-desa pun bertransformasi jadi kota kecil, serta kota kecil akan jadi kota sedang, dan berikutnya jadi kota besar.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H