Sebaliknya, lawan kota adalah desa. Ciri-cirinya adalah tidak begitu banyak rumah atau gedung kantor, dan lebih banyak area pertanian, seperti sawah dan kebun. Hewan ternak juga banyak terdapat di desa. Kalau pun ada pasar desa, biasanya beroperasi seminggu sekali, pada hari tertentu.
Tapi, dalam pengertian wilayah pemerintahan, bisa saja daerah yang dominan area pertaniannya, bahkan juga hutan, dimasukkan dalam sebuah kota. Contohnya, ya seperti di Palangka Raya itu, sebagian besar wilayahnya berupa hutan.Â
Bukan hutan kota yang sengaja dibangun untuk alasan penghijauan, tapi memang sudah dari dulunya berupa hutan. Adapun bagian dari kota Palangka Raya yang betul-betul berwajah kota, hanya di sekitar pusat kota, mungkin di sekitar radius 10 km saja.Â
Lalu, dalam tata pemerintahan daerah, yang dulunya disebut "pemerintah daerah tingkat dua", ada yang disebut dengan pemerintah kabupaten (pemkab), dan ada yang disebut dengan pemerintah kota (pemkot, dulu disebut dengan kotamadya).
Nah, sebetulnya agak rancu juga, kenapa misalnya Tidore Kepulauan atau Subulussalam tidak disebut kabupaten, karena toh sebagian besar wilayahnya masih berupa area pertanian, mirip di desa-desa pada umumnya, kecuali di pusat kota yang relatif kecil.
Namun begitulah yang tercatat secara resmi. Tentu pada waktu proses pengusulan hingga terbitnya persetujuan yang melibatkan Kementerian Dalam Negeri dan DPR RI, ada pertimbangan tersendiri, kenapa daerah otonom yang sebagian besar wilayahnya masih bertipikal desa, tapi disebut sebagai kota.
Tapi, harus diakui, seiring dengan berkurangnya lahan pertanian, dan juga berkurangnya luas hutan, kecenderungannya, lahan untuk bangunan akan meningkat pesat. Lama kelamaan, desa-desa pun bertransformasi jadi kota kecil, serta kota kecil akan jadi kota sedang, dan berikutnya jadi kota besar.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H