Tiga bank syariah milik tiga bank pemerintah, yakni Bank Syariah Mandiri (BSM, milik Bank Mandiri), Bank Negara Indonesia Syariah (BNIS, milik BNI), dan Bank Rakyat Indonesia Syariah (BRIS, milik BRI), saat ini dalam proses penggabungan atau merger. Diperkirakan pada Februari 2021, bank hasil merger sudah mulai beroperasi, konon akan dinamakan Bank Amanah.
Dengan penggabungan tersebut, tentu Bank Amanah diharapkan akan menjadi sebuah bank besar yang tak kalah dengan bank-bank papan atas di negara kita. Sekarang, 10 bank terbesar nasional dilihat dari sisi aset yang dimiliki, semuanya dikuasai bank konvensional, termasuk 3 bank konvensional milik pemerintah di atas.
Namun demikian, untuk keberhasilan bank syariah di Indonesia, tidak saja memerlukan bank yang berskala besar, tapi juga masih memerlukan sosialisai yang lebih efektif. Meskipun sejak 1991, telah hadir bank syariah pertama, yakni Bank Muamalat, tapi secara umum masih banyak masyarakat yang persepsinya kurang tepat terkait bank syariah.
Tentang bagaimana seharusnya sebuah bank syariah beroperasi, tentu yang dianggap murni sesuai dengan ajaran agama Islam, bukan menjadi topik bahasan tulisan ini. Soalnya, hal itu memerlukan kajian khusus hukum Islam, baik secara tekstual maupun penjabarannya yang tepat dalam konteks saat ini.
Tulisan ini hanya menyoroti bagaimana praktik bank syariah di Indonesia dan bagaimana pula persepsi masyarakat. Itupun berdasarkan pengamatan sekilas, bukan hasil penelitian yang mendalam, sehingga mungkin saja salah dalam menyimpulkannya. Dalam hal ini, paling tidak, ada dua anggapan ekstrim yang boleh dikatakan salah kaprah atau salah persepsi terkait kiprah bank syariah di negara kita.Â
Pertama, ada sebagian masyarakat yang memandang bank syariah sebagai bank yang bertolak belakang atau berlawanan dengan bank konvensional. Artinya, jika bank konvensional dianggap "hitam", maka bank syariah adalah "putih". Dengan istilah lain, ini pandangan yang overestimate.
Padahal, pada praktiknya, tak ada bank yang betul-betul hitam (kecuali bank gelap yang illegal) atau bank yang betul-betul putih. Boleh jadi, dilihat dari kacamata ajaran Islam, bank konvensional berwarna abu-abu tua, sedangkan bank syariah abu-abu muda.Â
Jangan buru-buru membayangkan para karyawan dan nasabah bank syariah, adalah mereka yang berhasil menampilkan sikap sangat islami. Bahkan, mohon maaf, mungkin dalam bayangan mereka hanya orang berpakaian sesuai syariah saja (seperti berhijab, bergamis, atau bercelana yang menggantung) yang ditemui di sana. Sehingga, mereka yang belum berpenampilan demikian, enggan berurusan dengan bank syariah.
Perlu diketahui, bank syariah melayani masyarakat tanpa membeda-bedakan agamanya. Bahkan, warga non-muslim boleh saja jadi nasabah (termasuk jadi karyawan). Memang banyak yang seperti itu bila melihat bank syariah di luar negeri, seperti di Inggris dan Malaysia.
Sebaiknya jangan memandang bank secara hitam putih, takut nantinya kecewa. Ada karyawan bank konvensional yang tiba-tiba berhenti bekerja dan berharap lebih tenang bila bekerja di bank syariah. Demikian juga nasabah bank konvensional, ada yang menutup semua rekeningnya di bank konvensional dan membuka rekening di bank syariah.
Tidak masalah sebetulnya bagi yang "hijrah " atau mendapatkan "hidayah" seperti itu. Yang namanya manusia, wajar bila move on dari yang abu-abu gelap ke abu-abu terang. Tapi, ya itu tadi, akan kecewa bila mengharapkan bank syariah berwarna putih bersih 100 persen.
Soalnya, dalam praktiknya, karena bank syariah dimiliki oleh induknya yang bank konvensional, seperti halnya ketiga bank syariah yang dalam proses merger di atas, jelas agak sulit memisahkan secara tegas, mana yang bank syariah, mana yang bank konvensional.
Buktinya, untuk level manajemen, pejabat bank syariah didrop dari bank induk, dan setelah penugasan selesai, si pejabat kembali lagi ke bank induk. Hanya level karyawan yang tidak bisa pindah-pindah seperti itu, antar induk dan anak perusahaan.
Kemudian, bila bank syariah kekurangan modal, bank induk akan menyetor tambahan modal, atau memberikan pinjaman jangka panjang. Bukankah akhirnya sumber dana bank syariah jadi tercampur dengan dana yang sebelumnya dioperasikan secara konvensional oleh bank induk?
Memang, masing-masing bank syariah sudah berupaya memisahkan dengan tegas untuk tidak tercampur dengan cara-cara non syariah. Tapi, tak terelakkan, tetap ada irisannya dengan bank konvensional, terutama yang merupakan anak perusahaan dari bank konvensional.Â
Selain yang telah diuraikan di atas, sistem informasinya, pola pendidikan dan pelatihannya, sistem auditnya, sistem promosinya (sekadar menyebut beberapa contoh), lazimnya disupervisi oleh induk perusahaan.
Berikutnya, salah persepsi yang kedua, adalah yang sebaliknya, yang underestimate. Ini terjadi pada sebagian masyarakat yang mengatakan tak ada beda antara bank syariah dengan bank konvensional, selain berbeda istilah saja, di mana produk bank syariah kebanyakan berbahasa Arab.
Bank syariah  dianggap hanya berbisnis biasa yang memanfaatkan momentum semakin banyaknya masyarakat yang religius, yang rutin mengikuti pengajian, sehari-hari berpakaian muslim, dan relatif sering pergi umrah atau naik haji.
Boleh dikatakan, mereka yang berpendapat seperti itu bersikap skeptis. Namun, tentu ada alasannya juga yang barangkali belum di-crosscheck dengan kondisi yang sesungguhnya.
Bahwa bank syariah bertujuan mencari keuntungan, itu memang betul. Namanya juga perusahaan, bukan lembaga sosial. Bank tersebut perlu penghasilan buat menutupi gaji karyawan, sewa gedung, pembelian mesin ATM, dan berbagai biaya operasional lainnya. Toh bank syariah tidak saja membayar pajak seperti bank konvensional, tapi juga membayar zakat (yang tidak dikenal pada bank konvensional).
Jadi, jangan membayangkan ketika seorang nasabah akan mengambil pinjaman (pada bank syariah tidak menggunakan istilah "kredit", tapi "pembiayaan"), si peminjam akan mengembalikan pinjaman persis sebesar jumlah uang yang dipinjamnya.Â
Pasti akan ada pengembalian kepada bank melebihi pokok yang dipinjam. Hanya kelebihan ini bukan berupa bunga, melainkan tergantung akad sewaktu pinjaman diterima nasabah. Ada yang berupa bagi hasil dan ada yang berupa jual beli.Â
Untuk akad bagi hasil, nasabah akan membagi keuntungannya dengan persentase yang tetap kepada bank syraiah. Umpamanya, dari pinjaman Rp 100 juta, seorang nasabah berhasil memutarkan uang tersebut untuk berbisnis dengan keuntungan katakanlah Rp 30 juta. Bila rasio bagi hasil 60:40, artinya bank nantinya akan mendapatkan pengembalian sebesar Rp 100 juta plus 60 persen dari Rp 30 juta.
Sedangkan akad jual beli, yang lazim buat pinjaman konsumtif, bank syariah bertindak sebagai penjual, katakanlah untuk pinjaman pembelian mobil. Untuk itu, pihak bank akan menetapkan keuntungan dari penjualan tersebut, misalkan 20 persen. Maka atas pinjaman Rp 200 juta, nasabah harus mengembalikan Rp 200 juta plus 20 prsen dari 200 juta yang dibagi rata sepanjang periode cicilan.
Begitu pula untuk nasabah yang menabung di bank syariah, juga akan mendapatkan imbalan tergantung akadnya saat membuka tabungan. Tapi imbalan itu bukan bunga. Jelas, ini bukan sekadar berbeda istilah saja, tapi konsepnya memang berbeda.
Hanya saja, karena hampir semua jenis pelayanan yang ada di bank konvensional, juga terdapat di bank syariah dengan nama dan pola yang berbeda, akhirnya ada sebagian masyarakat yang bilang kedua jenis bank ini pada dasarnya sama saja.
Baik, kembali ke merger bank syariah, semoga Bank Amanah kelak menuai sukses, sekaligus membuat masyarakat lebih memahami cara beroperasinya. Pada prinsipnya, masyarakat sekarang punya pilihan yang beragam dan silakan memilih yang paling sesuai dengan kebutuhan atau yang paling diyakini telah mendekati tuntunan agama. Mendekati, artinya belum sempurna.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H