Soalnya, dalam praktiknya, karena bank syariah dimiliki oleh induknya yang bank konvensional, seperti halnya ketiga bank syariah yang dalam proses merger di atas, jelas agak sulit memisahkan secara tegas, mana yang bank syariah, mana yang bank konvensional.
Buktinya, untuk level manajemen, pejabat bank syariah didrop dari bank induk, dan setelah penugasan selesai, si pejabat kembali lagi ke bank induk. Hanya level karyawan yang tidak bisa pindah-pindah seperti itu, antar induk dan anak perusahaan.
Kemudian, bila bank syariah kekurangan modal, bank induk akan menyetor tambahan modal, atau memberikan pinjaman jangka panjang. Bukankah akhirnya sumber dana bank syariah jadi tercampur dengan dana yang sebelumnya dioperasikan secara konvensional oleh bank induk?
Memang, masing-masing bank syariah sudah berupaya memisahkan dengan tegas untuk tidak tercampur dengan cara-cara non syariah. Tapi, tak terelakkan, tetap ada irisannya dengan bank konvensional, terutama yang merupakan anak perusahaan dari bank konvensional.Â
Selain yang telah diuraikan di atas, sistem informasinya, pola pendidikan dan pelatihannya, sistem auditnya, sistem promosinya (sekadar menyebut beberapa contoh), lazimnya disupervisi oleh induk perusahaan.
Berikutnya, salah persepsi yang kedua, adalah yang sebaliknya, yang underestimate. Ini terjadi pada sebagian masyarakat yang mengatakan tak ada beda antara bank syariah dengan bank konvensional, selain berbeda istilah saja, di mana produk bank syariah kebanyakan berbahasa Arab.
Bank syariah  dianggap hanya berbisnis biasa yang memanfaatkan momentum semakin banyaknya masyarakat yang religius, yang rutin mengikuti pengajian, sehari-hari berpakaian muslim, dan relatif sering pergi umrah atau naik haji.
Boleh dikatakan, mereka yang berpendapat seperti itu bersikap skeptis. Namun, tentu ada alasannya juga yang barangkali belum di-crosscheck dengan kondisi yang sesungguhnya.
Bahwa bank syariah bertujuan mencari keuntungan, itu memang betul. Namanya juga perusahaan, bukan lembaga sosial. Bank tersebut perlu penghasilan buat menutupi gaji karyawan, sewa gedung, pembelian mesin ATM, dan berbagai biaya operasional lainnya. Toh bank syariah tidak saja membayar pajak seperti bank konvensional, tapi juga membayar zakat (yang tidak dikenal pada bank konvensional).
Jadi, jangan membayangkan ketika seorang nasabah akan mengambil pinjaman (pada bank syariah tidak menggunakan istilah "kredit", tapi "pembiayaan"), si peminjam akan mengembalikan pinjaman persis sebesar jumlah uang yang dipinjamnya.Â
Pasti akan ada pengembalian kepada bank melebihi pokok yang dipinjam. Hanya kelebihan ini bukan berupa bunga, melainkan tergantung akad sewaktu pinjaman diterima nasabah. Ada yang berupa bagi hasil dan ada yang berupa jual beli.Â