Untuk akad bagi hasil, nasabah akan membagi keuntungannya dengan persentase yang tetap kepada bank syraiah. Umpamanya, dari pinjaman Rp 100 juta, seorang nasabah berhasil memutarkan uang tersebut untuk berbisnis dengan keuntungan katakanlah Rp 30 juta. Bila rasio bagi hasil 60:40, artinya bank nantinya akan mendapatkan pengembalian sebesar Rp 100 juta plus 60 persen dari Rp 30 juta.
Sedangkan akad jual beli, yang lazim buat pinjaman konsumtif, bank syariah bertindak sebagai penjual, katakanlah untuk pinjaman pembelian mobil. Untuk itu, pihak bank akan menetapkan keuntungan dari penjualan tersebut, misalkan 20 persen. Maka atas pinjaman Rp 200 juta, nasabah harus mengembalikan Rp 200 juta plus 20 prsen dari 200 juta yang dibagi rata sepanjang periode cicilan.
Begitu pula untuk nasabah yang menabung di bank syariah, juga akan mendapatkan imbalan tergantung akadnya saat membuka tabungan. Tapi imbalan itu bukan bunga. Jelas, ini bukan sekadar berbeda istilah saja, tapi konsepnya memang berbeda.
Hanya saja, karena hampir semua jenis pelayanan yang ada di bank konvensional, juga terdapat di bank syariah dengan nama dan pola yang berbeda, akhirnya ada sebagian masyarakat yang bilang kedua jenis bank ini pada dasarnya sama saja.
Baik, kembali ke merger bank syariah, semoga Bank Amanah kelak menuai sukses, sekaligus membuat masyarakat lebih memahami cara beroperasinya. Pada prinsipnya, masyarakat sekarang punya pilihan yang beragam dan silakan memilih yang paling sesuai dengan kebutuhan atau yang paling diyakini telah mendekati tuntunan agama. Mendekati, artinya belum sempurna.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H