Apakah nama "Biro Jodoh Yasco" cukup akrab di telinga Anda, sehingga gampang mengingatnya? Kalau iya, saya yakin usia Anda paling tidak sudah 40 tahun. Karena biro jodoh tersebut, yang konon biro jodoh pertama di Indonesia, populer pada era sebelum berganti abad baru.
Yasco adalah singkatan dari Yayasan Scorpio, dan biro jodoh itu berdiri sejak tahun 1974. Dari tulisan di detik.com (2/6/2017), disebutkan hingga saat itu, Yasco masih beroperasi menggunakan kantor di bilangan Kramat Lontar, Jakarta Pusat, dengan cara yang masih manual, dipenuhi arsip nama-nama peserta biro jodoh itu yang terjaga kerahasiaannya.
Tidak didapat informasi, apakah sekarang Yasco masih eksis atau sudah menghilang ditelan zaman seiring menjamurnya aplikasi penyedia kencan online. Tapi, saya sendiri tidak tahu banyak tentang Yasco, meskipun dulu cukup sering membaca kiprahnya di media cetak. Soalnya, ada media yang meliput pertemuan anggota Yasco sebagai ajang untuk saling mengenal dan siapa tahu bertemu jodoh.
Yang saya ingin sampaikan adalah tentang aktivitas rubrik "Kontak" di harian Kompas, karena saya adalah pelanggan setia koran terbesar di negara kita itu. Pada setiap edisi hari Minggu, khususnya waktu saya masih  bujangan, saya lumayan rajin menyimak rubrik ini, terutama melihat profil para wanita yang ditampilkan dan meneliti kriteria lelaki yang didambakannya.
Jadi, meskipun judul rubriknya "Kontak", tapi pembaca menamakannya Kontak Jodoh, karena memang itu maksudnya. Mungkin ada yang bertanya, kenapa Kompas yang citranya adalah koran serius, lebih dominan menurunkan berita politik dan ekonomi ketimbang hiburan, malah menyediakan halamannya yang sangat berharga (memasang iklan di Kompas, tarifnya lebih mahal dibandingkan koran lain) untuk urusan perjodohan yang sepele.
Eit, tunggu dulu, siapa tadi yang bilang jodoh urusan sepele? Justru Kompas sangat memahami kebutuhan sebagian pembacanya yang mayoritas adalah mereka yang berpendidikan tinggi dan bekerja di sektor formal. Ternyata banyak pelanggan Kompas yang kesulitan mendapatkan jodoh, yang terbukti dari demikian banyaknya yang mendaftar agar profilnya ditayangkan di Kompas, meskipun daftar tunggunya relatif lama.
Kompas memulai rubrik tersebut sejak 5 November 1978, dan meraih kejayaannya pada dekade 80-an hingga 90-an. Dikutip dari cnnindonesia.com (14/2/2016), P Hendranto, yang menjadi pengelola rubrik Kontak harian Kompas dari 1982 hingga 2001, mengungkapkan sejarah munculnya rubrik itu.
Adalah wartawan Kompas August Parengkuan (pernah menjadi Duta Besar RI di Italia dari 2012 hingga 2017 dan meninggal dunia pada usia 76 tahun di tahun 2019) yang jadi pencetus ide. Tujuannya untuk membantu menghubungkan pria dan wanita yang membutuhkan pasangan hidup dan merasa terdesak usia. Jelaslah, para remaja atau para mahasiswa yang berniat mencari pacar, tidak mungkin memanfaatkan Kompas.
Makanya, ada persyaratan yang harus dipatuhi para peserta Kontak, yakni usia minimal 30 tahun untuk pria dan 27 tahun bagi wanita, yang dibuktikan dari foto kopi KTP. Bagi janda atau duda yang tertarik, harus pula melampirkan bukti surat cerai atau surat kematian mantan pasangannya.Â
Peserta juga diminta menuliskan biodata ringkas mengenai pendidikan, hobi, kegiatan dan kriteria pasangan idaman. Pengelola rubrik akan menyeleksi berkas permohonan. Peserta yang lolos kriteria akan mendapat satu nomor anggota dan biodatanya ditayangkan di Kontak. Nama, alamat dan nomor telpon peserta tidak akan ditayangkan.Â
Pembaca yang tertarik dengan salah seorang atau beberapa orang peserta, dan tentu bila ia merasa sesuai dengan kriteria yang diidamkan si peserta, akan melayangkan surat ke pengelola rubrik dengan mencantumkan nomor anggota yang ditaksir. Nantinya surat tersebut akan diteruskan pengelola ke alamat si peserta.Â
Urusan berikutnya, diserahkan kepada anggota apakah ia tertarik menanggapi surat tersebut dan bisa berbalas-balasan secara langsung, kalau perlu bisa membuat perjanjian untuk bertemu. Berjodoh atau tidaknya, bukan lagi tanggung jawab pengelola, namun pengelola sering mendapat ucapan terima kasih dan undangan pernikahan berkat adanya Kontak.
Hendranto mengatakan bahwa peserta yang berprofesi sebagai dokter dan insinyur, paling banyak peminatnya. Dokter Heru (nama samaran) mendapatkan 164 surat tanggapan, setelah biodata singkatnya muncul di Kontak pada tahun 1983.
Tak ada uang pendaftaran, malah Kompas mengeluarkan biaya korespondensi. Boleh dikatakan, Kontak menjadi semacam misi sosial Kompas, karena bagi para profesional yang sibuk bekerja, belum tentu punya waktu luang buat bergaul dan menemukan pasangan hidup.
Perkembangan teknologi akhirnya terpaksa mengakhiri kiprah rubrik Kontak yang telah berjasa melahirkan banyak pasangan suami istri itu. Maka pada awal Januari 2015, tak ada lagi biodata para pencari jodoh di harian paling berpengaruh di Indonesia tersebut.Â
Sekarang meraka yang membutuhkan jasa sejenis, silakan menggunakan aplikasi yang dirancang khusus untuk itu. Apakah tingkat keberhasilannya lebih tinggi atau justru lebih rendah, perlu diteliti lebih lanjut. Yang jelas, kencan online, perlu kehati-hatian, agar tidak tertipu. Mau untung, malah buntung.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H