Blog keroyokan Kompasiana dengan sekitar 600.000 anggota, baru saja berulang tahun yang ke-12, 22 Oktober 2020 kemarin. Inilah blog yang tulisan-tulisannya boleh dikatakan relatif punya selera berbahasa yang baik.
Soalnya, para kompasianer (julukan bagi para penulis di Kompasiana), secara demografi sangat beragam, dari para pelajar hingga para pensiunan. Juga mewakili berbagai profesi, ada yang petani, guru, dosen, bankir, pejabat pemerintah, akuntan, dokter, advokat, budayawan, arkeolog, rohaniwan, dan sebagainya. Begitu pula dari suku dan agama, semua terwakili.
Lalu, soal domisili, sangat tersebar, bukan saja dari Aceh sampai Papua dan dari Manado hingga Kupang, tapi juga yang berada di Belanda, Jerman, Australia, Jepang, China, Malaysia, Filipina, Australia, Amerika Serikat, dan sebagainya.
Maka, jika bahasa ngeblog secara umum lebih banyak yang bergaya anak gaul Jakarta (meskipun penulisnya bukan warga Jakarta) yang bercampur dengan bahasa Inggris, maka itu tidak berlaku di Kompasiana.
Jadi, gaya komunikasi yang "Jakarta sentris" yang digunakan oleh jutaan anak muda perkotaan di berbagai penjuru tanah air (jangan lupa, penyiar radio di pelosok pun, biar gaya, berbahasa ala Jakarta), di Kompasiana diperkaya, sehingga terasa sekali ke-Indonesia-annya. Memang, Kompasiana itu bisa dikatakan "bhineka tunggal ika".
Meskipun juga ada kompasianer yang berbahasa gaul, tapi hanya sebagai bumbu, agar pembaca lebih santai membacanya, atau lebih mudah dinikmati. Jarang ditemui singkatan seenaknya ala di media sosial. Tata bahasa, meskipun tidak kaku-kaku banget, masih dipatuhi para kompasianer. Apalagi, ada beberapa kompasianer yang dengan baik hati berbagi pengetahuan kebahasaan.
Bahkan, beberapa kosakata yang langka terdengar, namun kosakata itu tercatat dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), menjadi pilihan kata yang dimunculkan beberapa kompasianer, terutama pada rubrik Fiksiana.
Mungkin saja di mata anak gaul, Kompasiana merupakan blog yang serius. Anggapan yang tidak sepenuhnya salah. Tapi, kalau mereka mau menyelami Kompasiana, karena sebagian besar tulisan telah dikemas dengan gaya populer, bisa jadi anak gaul pun akan jatuh cinta.
Buktinya, tak sedikit para pelajar dan mahasiswa yang awalnya menulis di Kompasiana karena memenuhi tugas dari guru atau dosennya, akhirnya behasil melahirkan tulisan lain yang merupakan inisiatif pribadi.
Dengan menjadi kompasianer, para remaja yang terbiasa menulis di akun media sosialnya memakai "gue" (sering pula disingkat lagi jadi "gw") sebagai kata ganti orang pertama dan "lu" sebagai kata ganti orang kedua, akhirnya nyaman memakai kata "saya".
Beberapa remaja mungkin tidak nyaman menggunakan "saya" karena kesannya terlalu formal, sehingga menggunakan "aku" yang lebih merupakan bahasa keseharian.Â