Mohon tunggu...
Irwan Rinaldi Sikumbang
Irwan Rinaldi Sikumbang Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

menulis untuk menikmati kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Menyoal Biaya Tenaga Kerja, Ketimpangan Penggajian, dan Keterbukaan Perusahaan

7 Oktober 2020   19:07 Diperbarui: 8 Oktober 2020   07:21 1533
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Disahkannya RUU Cipta Kerja, betul-betul membuat banyak pihak, terutama para pekerja, sangat kecewa. RUU tersebut dituding terlalu berpihak kepada investor dan kurang mengakomodasi aspirasi para pekerja yang dikoordinasi oleh berbagai organisasi serikat pekerja.

Mengingat tulisan yang mengemukakan keberatan dari sisi pekerja sudah banyak tersebar, termasuk di Kompasiana, tak ada salahnya melihat soal ini dari kacamata manajemen perusahaan.

Namun demikian, tulisan ini bisa jadi kurang relevan dengan RUU Cipta Kerja karena pemahaman penulis yang terbatas tentang RUU yang menyulut unjuk rasa di berbagai kota itu. Lagipula, penulis belum membaca RUU Cipta Kerja tersebut secara lengkap.

Tulisan di bawah ini berdasarkan pengalaman penulis berkarier di sebuah perusahaan milik negara dengan jaringan kerja yang sangat luas karena punya kantor cabang di semua kabupaten/kota di seluruh tanah air. Bahkan, masih ada lagi kantor cabang pembantu di tingkat kecamatan.

Tak heran kalau pekerjanya lebih dari 100 ribu orang. Namun, yang berstatus pekerja tetap mungkin sekitar 40 persen saja, sisanya adalah pekerja yang direkrut menggunakan sistem kontrak. Saya tidak tahu persis berapa angka pastinya, karena sekarang saya sudah berstatus purna bakti.

Komposisi pekerja seperti itu sangat berbeda dengan kondisi sampai dekade 1990-an. Ketika itu pekerja yang bertugas sebagai pengemudi kendaraan dinas, pengantar surat, tenaga administrasi rendah, tenaga keamanan atau satpam, semuanya berstatus pekerja tetap. 

Sekarang mereka semuanya pekerja kontrak dengan mekanisme melibatkan perusahaan penyedia jasa tenaga kerja (outsourcing). Artinya, si pekerja kontrak digaji oleh perusahaan penyedia jasa tenaga kerja, meskipun tugas sehari-harinya di perusahaan milik negara itu. 

Selain itu, pekerja yang levelnya di atas pekerja outsourcing itu, namun masih di bawah level staf, ada pula yang dikontrak langsung oleh perusahaan, tanpa melibatkan pihak penyedia jasa tenaga kerja.

Jika apa yang diberitakan media massa dan disuarakan oleh kelompok pekerja, benar adanya, dengan berlakunya UU Cipta Kerja, nantinya perusahaan akan semakin leluasa menggunakan sistem kontrak dengan para pekerjanya.

Tapi, selain melihat dari sisi pekerja, ada baiknya dilihat pula dari sisi investor dan manajemen perusahaan. Kenapa pihak manajemen perusahaan lebih menyukai menggunakan tenaga kontrak untuk jenis pekerjaan yang bersifat rutinitas?

Jawabannya gampang diduga, ini berkaitan dengan kinerja keuangan atau pencapaian target laba yang dipatok oleh pemegang saham terhadap manajemen puncak, dalam hal ini direksi perusahaan.

Menaikkan gaji 10.000 pekerja katakanlah hanya sebesar Rp 100.000 per bulan, sudah menambah beban keuangan perusahaan Rp 1 miliar per bulan atau Rp 12 miliar per tahun. Padahal, dengan kenaikan gaji, tidak ada jaminan para pekerja akan lebih produktif agar penghasilan perusahaan meningkat.

Kenaikan gaji Rp 100.000 per bulan untuk setiap pekerja, dampak turunannya masih ada, yakni kenaikan jumlah pesangon atau hak-hak pekerja yang terkena pemutusan hubungan kerja (PHK), baik karena kontraknya sudah habis, maupun jika ada PHK massal yang diadakan secara insidentil.

Adapun ketentuan pesangon untuk pekerja tetap, lebih memberatkan lagi bagi perusahaan, karena standar akuntansi yang berlaku mewajibkan perusahaan mencadangkan biaya pesangon. 

Contohnya, katakanlah ada pekerja tetap yang sekarang berusia 30 tahun, dan akan pensiun pada usia 56 tahun. Untuk pembayaran pesangonnya nanti, perusahaan wajib mencicil cadangannya setiap tahun, agar pada masanya, dana pesangon telah tersedia.

Tak heran, dilihat dari sisi perusahaan, jelas akan jauh lebih menguntungkan bila semakin sedikit pekerja tetap dan semakin banyak pekerja kontrak. Itupun pihak perusahaan kadang-kadang agak terpaksa juga menyesuaikan gaji pekerja dengan kenaikan upah minimum terbaru yang ditetapkan pemerintah.

Makanya, bila pemerintah meminta masukan dari pengusaha untuk kenaikan upah minimum, biasanya berlangsung alot sekali. Akhirnya, mungkin saja pemerintah daerah menetapkan tingkat upah minimum dengan mengabaikan aspirasi pengusaha.

Di lain pihak, meningkatkan gaji seorang direktur dari Rp 200 juta menjadi Rp 225 juta per bulan, dengan asumsi ada 7 orang direktur, hanya meningkatkan biaya Rp 175 juta per bulan. 

Kenaikan ini dianggap wajar bila para direktur berani menerima tantangan untuk meningkatkan laba perusahaan dari kelincahannya dalam melakukan lobi bisnis.

Dapat dipahami sebetulnya, bagaimana keberatan pihak perusahaan bila misalnya ketentuan pekerja kontrak semakin dibatasi, dalam arti perusahaan diwajibkan memperbanyak pekerja tetap dengan segala pencadangan setiap tahun untuk dibayarkan saat si pekerja tetap memasuki masa pensiun.

Tapi masalahnya, betapa "kejam"-nya dunia usaha yang cenderung kapitalistik ini (meskipun istilah ini dihindarkan pemakaiannya), yang membuahkan ketimpangan sistem penggajian. Begitulah, dengan dalih sesuai mekanisme pasar, membuat segelintir petinggi perusahaan, sah-sah saja bergaji sangat mahal. 

Merupakan hal yang biasa, bila perbandingan gaji tertinggi dengan gaji terendah di sebuah perusahaan bisa 1:100, bahkan bisa 1:300 bila faktor tantiem direksi ikut dihitung. 

Dalam hal ini yang dipakai sebagai gaji tertinggi adalah gaji direktur utama, sedangkan gaji terendah, gaji yang diterima office boy (OB) atau pekerja lain yang setara.

Kenapa demikian timpang? Ya, itulah dampak dari mekanisme pasar.

Sang Dirut bila tidak digaji mahal, bisa dibajak perusahaan pesaing. Sementara OB kalau tidak puas dengan gajinya yang setelah dipotong mungkin tidak lagi sebesar UMR, silakan keluar, masih ribuan orang di luar sana yang mau menggantikan. 

Itulah yang namanya "pasar" tenaga kerja. Karena tenaga tanpa keahlian melimpah, dihargai dengan murah, tapi manajer bertangan dingin yang bisa menyulap perusahaan rugi jadi untung, dihargai dengan sangat mahal saking langkanya.

Tapi apa betul, negara kita yang ber-Pancasila ini menginginkan mekanisme pasar seperti itu? Maka, sangat diharapkan kesadaran para pejabat tinggi di berbagai perusahaan untuk mengurangi ketimpangan penggajian.

Contohnya, gaji direksi jika dinaikkan 10 persen, harus pula dengan konsekuensi menaikkan gaji semua pekerja dengan persentase yang sama. Jika perlu semakin rendah jabatannya, semakin besar persentase kenaikannya, agar ketimpangan dipersempit.

Bila kebijakan tersebut akan merugikan perusahaan, anggaran kenaikan gaji direksi dan pejabat tinggi lainnya dialokasikan ke semua pekerja, meskipun masing-masing hanya bisa naik, katakanlah 0,5 persen. 

Atau bila kondisi keuangan perusahaan tidak memungkinkan dan harus memacu semangat semua pekerja untuk lebih produktif serta memberikan pelayanan yang lebih baik bagi pelanggan agar perolehan laba meningkat, ya ungkapkan secara terbuka kepada semua pekerja. 

Lalu sepakati bersama, jika perolehan laba meningkat, semua pekerja akan kecipratan dengan sistem yang mempersempit ketimpangan. Dengan demikian, pekerja rendahan pun akan giat bekerja.

Sesama pekerja akan saling mengingatkan dan saling mengawasi agar tidak ada temannya yang korupsi. Karena bila satu orang saja yang korupsi, sama saja dengan mengorbankan bonus laba yang seharusnya dibagikan kepada semua pekerja.

Intinya, manajemen harus berani buka-bukaan mengungkapkan isi perut perusahaan. Tak perlu rahasiakan gaji para pejabat tinggi karena takut akan terjadi kecemburuan sosial. Jelaskan alasan rasionalnya, kenapa gaji pejabat harus tinggi, bila pejabat itu mampu mencetak tambahan keuntungan buat perusahaan.

Ketimpangan penggajian, bagaimanapun juga tak mungkin ditiadakan, karena mencerminkan perbedaan keahlian dan kontribusi seseorang bagi perusahaan. 

Tapi, ketimpangan yang keterlaluan, perlu dipersempit dengan sistem yang jelas dan terbuka, agar menimbulkan semangat kerja bagi semua personil di sebuah perusahaan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun